JAKARTA – Pasar keuangan domestik hari ini menunjukkan performa yang kurang menggairahkan, dengan tekanan harga mempengaruhi saham, obligasi, dan nilai tukar rupiah.
Pada perdagangan hari Selasa, pasar surat utang negara (SUN) mengalami kenaikan tingkat imbal hasil di tengah tekanan pasar yang sedang mengantisipasi rilis data pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS).
Yield SUN Naik untuk Tenor 5 dan 10 Tahun
Data Bloomberg menunjukkan bahwa yield Surat Berharga Negara (SBN) pada tengah hari ini mayoritas meningkat, terutama untuk tenor 5 tahun yang naik 1,4 bps ke 6,527%. Sementara itu, yield tenor 10 tahun hanya sedikit berubah di 6,633%, dan tenor pendek 2 tahun tetap stabil di 6,424%. Adapun tenor pendek 1 tahun justru turun 2,2 bps ke 6,405%.
Tekanan harga obligasi negara berlangsung di tengah aksi jual yang juga terlihat di pasar saham, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup sesi pertama dengan penurunan 0,73%.
Rupiah mengalami pelemahan ke level Rp15.542 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat jatuh ke Rp15.583 per dolar AS pada pagi hari.
Pergerakan harga aset di pasar keuangan domestik yang cenderung tertekan ini tidak lepas dari sentimen negatif di pasar regional Asia yang turut terdampak oleh sentimen global.
Sejak pagi, mata uang Asia melemah, dipimpin oleh peso Filipina yang turun 0,53%. Bursa saham Asia juga mayoritas berada di zona merah, seperti indeks Kospi Korea yang turun 0,35%, Hang Seng Hong Kong turun 0,5%, dan indeks saham Shanghai yang juga melemah.
Pasar masih dibayangi kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi China yang terus melemah setelah data aktivitas produksi kembali terkontraksi untuk bulan keempat berturut-turut pada Agustus.
Di sisi lain, investor turut mewaspadai potensi kenaikan suku bunga oleh Bank of Japan yang diperkirakan bisa terjadi pada Januari tahun depan.
Nantinya, data manufaktur AS akan menjadi fokus untuk melihat kondisi ekonomi terbesar di dunia tersebut, sebelum rilis data pasar tenaga kerja akhir pekan ini.
Spekulasi pasar saat ini memperkirakan bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps pada rapat FOMC tanggal 18 September mendatang.
Di dalam negeri, pelaku pasar masih memperhatikan kontraksi manufaktur yang berlanjut pada Agustus, sementara deflasi yang berlangsung selama empat bulan berturut-turut menjadi yang terpanjang sejak 1999, memicu kekhawatiran terkait daya beli masyarakat.
Aset Pasar Keuangan Domestik Indonesia Tetap Menarik
Meskipun pasar tampak lesu, aset pasar keuangan domestik Indonesia tetap menarik di mata investor global.
Para pengelola dana besar dunia, seperti BlackRock asal AS, terus membidik aset investasi di Indonesia seiring meningkatnya volatilitas pasar menjelang pertemuan The Fed yang diprediksi akan mulai memangkas suku bunga.
Surat utang dari Filipina dan Indonesia menjadi favorit, terutama untuk tenor menengah dan panjang, karena adanya ruang bagi bank sentral kedua negara tersebut untuk melonggarkan kebijakan moneter.
“Ini adalah masa yang menguntungkan bagi aset-aset fixed income di Asia, terutama di pasar negara berkembang. Saya pikir ini adalah waktu yang tepat untuk menambah durasi jika volatilitas terjadi,” ujar Neeraj Seth, Head of Asian Fixed Income di BlackRock.
Pasar surat utang di Asia sejauh ini mencatat kinerja yang lebih baik setiap September dibandingkan dengan pasar obligasi di kawasan lain, seperti Amerika Latin.
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menerima aliran dana asing, didorong oleh spekulasi pemangkasan suku bunga The Fed. Investor asing telah membeli obligasi negara senilai US$2,2 miliar sepanjang Agustus, jumlah terbesar sejak Januari 2023, dengan pembelian terbesar terjadi pada 22 Agustus sebesar Rp9,6 triliun.
Menurut data Kementerian Keuangan, kepemilikan asing di surat utang pemerintah mencapai Rp852,3 triliun per 30 Agustus, tertinggi sejak Agustus 2023, dan menguasai 14,5% dari total SBN yang beredar di pasar sekunder.