Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura, mengatakan, sebelum terstandarisasi melalui QRIS, merchant UMKM harus memasang kode QR dari masing-masing perusahaan pembayaran digital. Hal ini jelas merepotkan bagi pemilik usaha.
“Jadi, sebenarnya itu saja, menyatukan standarisasi pengkodean. Sehingga nanti satu kode bisa dipakai oleh beberapa perusahaan digital payment. Nah, terkait direbutkan dengan standard internasional, standarisasinya kan memang sudah diatur seperti itu. Misalkan ada bank baru atau perusahaan digital payment baru, tinggal dimasukkan saja kodenya ke dalam standar QRIS,” terangnya,dikutip dari Tirto, Kamis (24/4/2025).
Alih-alih soal QRIS, Tesar justru melihat Trump lebih mempermasalahkan kebijakan soal batas kepemilikan asing pada GPN. Hal ini disebabkan tidak bolehnya Visa dan Mastercard masuk secara langsung dan harus melalui GPN untuk melakukan transaksi pembayaran di Indonesia. Kemudian, BI juga memberi batas kepemilikan kepada perusahaan asing sebesar 20 persen yang ingin mendapatkan lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN.
“Yang ini si menurut saya yang si Trump-nya tidak setuju. Jadi bukan di QRIS,” imbuhnya.
Meski begitu, Tesar menyarankan agar Bank Indonesia maupun pemerintah mendengarkan saja terlebih dulu keinginan Trump. Sebab, sampai saat ini Presiden AS tersebut masih sangat tidak jelas dalam menyampaikan tuntutannya. Hal ini yang justru menimbulkan polemik di masyarakat.
“Kalau misalkan Trump jelas, ‘Saya mau batas kepemilikan asing dinaikkan jangan 20 persen’, atau ‘GPN sistemnya diubah seperti ini’. Kalau sudah jelas, baru kan kita bisa berpikir. Kalau sekarang kan, sebenarnya sudah berjalan dari lama, kenapa dipermasalahkan sekarang? Dan juga ini kan QRIS dan lain-lain beberapa negara lain pun punya yang mirip seperti ini. Dan mereka (AS) nggak masalah,” ucap dia.
Perkembangan QRIS Tak Bisa Dihalangi
Sementara itu, Ekonom dari IPB University, Mangasa Augustinus Sipahutar, menilai bahwa bagaimanapun pengembangan QRIS tidak bisa dihalangi, sama halnya dengan perkembangan teknologi. Namun, keberlangsungan kebijakan ini pun akan sangat tergantung pada bagaimana proses negosiasi antara pemerintah dan AS berlangsung.
“Jadi maksudnya adalah, ya sudah, teknologi itu tuh nggak bisa dibatasi dan nggak bisa dihalangi, tinggal sekarang bagaimana proses negosiasi. Jadi, artinya dari sisi teknologi dan sistem pembayaran itu tidak ada masalah. Visa dan Master juga kalau mau akses bisa kok ke situ. Sehingga pasar mereka tetap bisa terjaga dan lain sebagainya,” kata dia, seperti dikutip dari Tirto, Kamis (24/4/2025).
Dengan dibangun berdasar standar internasional, pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya tidak perlu gentar untuk mempertahan QRIS sebagai standar pembayaran nasional.
“Nah, di sini sekarang kan di dalam negosiasi kan ada kepentingan dan ada kekuatan. Bagaimana kita bisa berdegosiasi dengan orang kalau ternyata kita lemah? Ada kecenderungan negosiasi akan dimanfaatkan oleh orang yang kuat untuk menang. Nah, itu memang tidak salah juga, kan? Nah, sekarang ini bagaimana nih pemerintah kita?” tukas Mangasa.