Sebuah whitepaper mengungkapkan bahwa tingginya tingkat kegagalan startup berakar pada faktor struktural dalam perancangan dan tata kelola.
Whitepaper berjudul The Corporate Venture Valley of Death, disusun oleh venture builder Wright Partners bersama konsultan inovasi MNG Labs lewat program Corporate Venture Launchpad 3.0 (CVL 3.0) yang didukung EDB Singapura, menemukan bahwa problem yang sama juga banyak terjadi pada startup berbasis VC mulai dari kekeliruan dalam memetakan permasalahan, tata kelola yang rapuh, serta ketidakcocokan profil pendiri dengan kebutuhan skala dan disiplin eksekusi.
Berbekal pengalaman meluncurkan tujuh ventura di bawah program CVL serta proyek bersama deretan korporasi lainnya, Wright Partners dan MING Labs menghadirkan sudut pandang praktisi tentang alasan mengapa begitu banyak startup di Asia Tenggara yang berhasil maupun gagal.
“Corporate venture building memberikan gambaran langsung ke dinamika lapangan yang menjelaskan mengapa banyak perusahaan di Asia Tenggara yang tidak mampu bertahan lama. Pada dasarnya, tanpa tata kelola yang kuat, founders yang tepat, dan disiplin eksekusi, kegagalan akan terus berulang,” ungkap Ziv Ragowsky, Founding Partner at Wright Partners dalam keterangannya di kutip dari Investor.id,Rabu (15/10/2025).
Secara global, sekitar 90% startup mengalami kegagalan, termasuk startup di Asia Tenggara. Namun menurut Wright Partners, penyebab kegagalan startup di kawasan ini bukan hanya sekadar siklus pendanaan atau sentimen investor, melainkan masalah utamanya adalah kegagalan struktural yang menjalar di seluruh ekosistem.
Salah satu isu terbesar adalah tata kelola yang lemah. Dari unicorn yang didukung VC hingga ventura korporat, terlalu banyak startup di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang kolaps akibat skandal, lemahnya pengawasan, dan ketidaktepatan pengelolaan.
Pada saat yang sama, Asia Tenggara menghadapi kesenjangan kualitas pendiri: dibandingkan Silicon Valley, jumlah founder berpengalaman dan pengusaha “gelombang kedua” (second-time founders) di kawasan Asia Tenggara masih lebih sedikit. Akibatnya, banyak perusahaan berada di tangan pemimpin yang minim pengalaman scale-up atau disiplin tata kelola.
Faktor lain yang turut memperparah situasi adalah, banyak startup mengejar ide yang tengah populer, bukan menyelesaikan kebutuhan nyata dan potensi monetisasinya. Pada saat yang sama, pendanaan ventura pun kerap menyuntik dana ke model bisnis yang masih dalam tahap pematangan, sehingga terbentuk dinamika pertumbuhan yang didorong ekspektasi dan belum tentu berkelanjutan.
Di pasar berkembang seperti Indonesia, hambatan struktural, mulai dari rantai pasok yang terpecah hingga ketidakpastian regulasi menjadi faktor yang kerap menyulitkan eksekusi.
“Yang kami lihat di Asia Tenggara bukan semata soal ketersediaan modal, melainkan soal struktur,” ujar Arnold Egg, Founding Partner di Wright Partners.
“Tata kelola yang belum kuat, pendiri yang kurang berpengalaman, serta kecenderungan memprioritaskan tren jangka pendek dibanding membangun ketahanan model bisnis merupakan pola yang berulang di banyak negara, termasuk Indonesia. Tanpa pembenahan hal-hal mendasar tersebut, sebesar apa pun investasi sulit melahirkan bisnis yang berkelanjutan,” lanjutnya.
Beberapa contoh yang menimpa sejumlah startup ternama di Indonesia adalah TaniHub (agritech), Investree (fintech), dan eFishery (akuakultur). Meski sempat tumbuh cepat dengan dukungan investor kuat, kinerja mereka tersendat oleh celah tata kelola, ekspansi yang sulit dipertahankan, serta guncangan eksternal.
Peristiwa ini menggambarkan bahwa startup yang didanai besar dan sering menjadi sorotan pun bisa goyah dalam waktu singkat jika fondasinya kurang tangguh, entah karena tata kelola yang lemah, model bisnis yang rentan, atau volatilitas pasar.
Dia mencontohkan di Singapura menunjukkan bahwa disiplin proses bisa menghasilkan arah yang berbeda. Di program CVL, kata dia, pendanaan tidak dikucurkan sekaligus, melainkan bertahap dan hanya setelah setiap capaian benar-benar tervalidasi.
Mekanisme ini membantu menekan risiko bagi korporasi, memperjelas akuntabilitas tim pendiri, dan menumbuhkan ketahanan jangka panjang.
Sejumlah ventura lulusan CVL kemudian memperoleh pendanaan lanjutan dan tumbuh lebih sehat serta dapat memberi acuan yang bisa diterapkan lebih luas untuk menghindari valley of death, fase paling rentan dalam perjalanan awal sebuah startup.
Dketahui, Whitepaper The Corporate Venture Valley of Death merangkum lebih dari lima belas wawancara dengan pimpinan corporate venture serta sejumlah studi kasus di Asia Tenggara.
Dokumen ini menyoroti tiga penyebab yang paling sering membuat corporate venture kolaps, yakni kekeliruan analisis masalah, ketidakselarasan struktur kepemilikan dan insentif, serta disiplin eksekusi yang lemah.
Laporan ini ini menegaskan bahwa tata kelola dan disiplin eksekusi merupakan persoalan sistemik yang juga memengaruhi startup berbasis modal ventura di kawasan Asia Tenggara.
Lebih lanjut, Sebastian Mueller, Founding Partner MING Labs mengatakan , ketahanan lahir dari struktur, bukan sekadar hype. Melalui pendekatan governance-first, pendanaan yang disiplin, dan keselarasan di struktur pendiri, kita bisa memperpendek Valley of Death baik untuk ventura korporat maupun startup VC.