28.8 C
Jakarta
Selasa, 24 Desember, 2024

Kasus Gagal Bayar Sritex dan IndoBharat Soroti Pentingnya Asuransi Kredit

JAKARTA, 24 Desember 2024 – Kasus gagal bayar yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) dan IndoBharat menyoroti peran vital asuransi kredit dalam melindungi perusahaan dari risiko piutang tak tertagih. Dalam kasus ini, IndoBharat mengasuransikan tagihannya terhadap Sritex, sehingga saat Sritex tidak mampu melunasi kewajibannya, perusahaan asuransi mengambil alih pembayaran piutang tersebut.

Wahyudin Rahman, dosen dan praktisi manajemen risiko sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), menjelaskan bahwa asuransi yang digunakan dalam kasus ini merupakan jenis asuransi tagihan piutang, bagian dari asuransi kredit perdagangan.

“Produk ini dirancang untuk melindungi perusahaan dari risiko gagal bayar oleh mitra bisnis. Dalam kasus seperti ini, asuransi kredit memberikan kompensasi atas piutang yang tidak tertagih, sehingga mengurangi dampak kerugian,” kata Wahyudin.

Kejanggalan dalam Kasus

Namun, Wahyudin menilai ada kejanggalan dalam kasus ini, terutama terkait keputusan perusahaan asuransi yang bersedia menanggung risiko gagal bayar dari Sritex, meskipun perusahaan tersebut memiliki risiko tinggi. Menurutnya, hal ini bisa disebabkan oleh akumulasi pembiayaan dan faktor underwriting lainnya, seperti kondisi keuangan dan situasi makroekonomi Sritex.

Ia juga menyoroti potensi subrogasi dalam kasus ini, di mana perusahaan asuransi yang telah membayar klaim kepada IndoBharat dapat menuntut Sritex untuk mengganti pembayaran tersebut.

“Kemungkinan besar Sritex akan dikejar subrogasi oleh perusahaan asuransi yang telah membayarkan klaim. Sayangnya, transparansi terkait hal ini masih kurang,” jelas Wahyudin.

Pentingnya Edukasi dan Regulasi Asuransi Kredit

Wahyudin mengungkapkan bahwa asuransi kredit perdagangan sebenarnya sudah cukup umum, meskipun perusahaan yang menyediakan layanan ini masih terbatas karena adanya persyaratan ekuitas, likuiditas, dan nilai komposit. Ia menekankan pentingnya sosialisasi terkait polis asuransi kredit, khususnya ketentuan subrogasi dan evaluasi risiko yang lebih ketat.

“Perlu adanya edukasi yang lebih mendalam terkait polis asuransi, termasuk aturan subrogasi, transparansi keuangan, dan kerja sama antara perusahaan asuransi kredit dengan mitra bisnis untuk memitigasi risiko gagal bayar,” paparnya.

Perlindungan dan Stabilitas

Wahyudin menambahkan bahwa tujuan utama asuransi kredit adalah melindungi kreditur dari risiko gagal bayar debitur. Meski tidak langsung melindungi dari risiko kepailitan, produk ini memberikan manfaat berupa stabilitas keuangan bagi kreditur atau pihak principal.

Dengan adanya regulasi seperti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), Wahyudin optimistis proses seleksi risiko akan menjadi lebih baik di masa depan. Selain itu, kerangka regulasi seperti POJK 20/23 sudah memberikan dasar yang cukup baik untuk operasional asuransi kredit.

“Meski regulasi di Indonesia, seperti POJK 20/23, sudah cukup baik, kasus seperti Sritex menunjukkan perlunya peningkatan standar penilaian risiko, pengawasan klaim, dan transparansi. Selain itu, edukasi kepada pengguna asuransi kredit juga harus ditingkatkan agar mereka memahami batasan dan cakupan perlindungan yang ditawarkan,” tutup Wahyudin.

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU