27.1 C
Jakarta
Jumat, 10 Mei, 2024

Apa Itu Flexing? Inilah Dampak Negatif & Cara Menghindarinya

JAKARTA, duniafintech.com – Flexing adalah salah satu istilah yang familiar belakangan di telinga kita belakangan ini. Istilah “flexing” mulai muncul dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan tren posting kekayaan di media sosial. 

Banyak pihak mengkritik perilaku ini, menyatakan bahwa flexing mencerminkan sikap sombong. Dalam konteks media sosial, “flexing” mengacu pada tindakan memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau prestasi secara terang-terangan dengan tujuan mendapatkan perhatian, pengakuan, atau rasa hormat dari orang lain.

Flexing sering terjadi di platform-platform media sosial seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan Snapchat, di mana pengguna membagikan foto, video, atau cerita tentang barang mewah, mobil, rumah, perjalanan, atau pencapaian lainnya untuk menunjukkan keberhasilan mereka kepada orang lain. Flexing juga dapat melibatkan penggunaan kata-kata atau caption yang merendahkan orang lain atau memamerkan superioritas diri.

Investasi kripto juga ikut mempengaruhi tren flexing belakangan ini. Dengan kenaikan nilai aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan altcoin lainnya, orang yang telah berinvestasi dalam kripto dan mendapatkan keuntungan besar sering menggunakan media sosial untuk memamerkan hasil investasi mereka. Mereka dapat membagikan tangkapan layar portofolio yang menunjukkan keuntungan yang signifikan, menciptakan kesan kesuksesan finansial.

Beberapa individu juga memanfaatkan keuntungan dari investasi kripto untuk membeli barang-barang mewah seperti mobil, perhiasan, atau properti, lalu membagikan foto atau video barang-barang tersebut di media sosial, menciptakan kesan bahwa keberhasilan finansial mereka berasal dari investasi kripto.

Baca juga: Cerita Para Korban Terbujuk “Flexing” Indra Kenz-Doni Salmanan, Rugi 500 Juta hingga 1 Miliar

Apa Itu Flexing?

Menurut Urban Dictionary, flexing adalah tindakan memamerkan hal-hal terkait uang, seperti seberapa banyak uang yang dimiliki, atau tentang barang-barang mahal seperti pakaian desainer. Praktik ini sering dilakukan oleh anak-anak muda dan pembuat konten di platform media sosial dengan sikap yang sombong.

Awal mula istilah flexing dapat ditelusuri kembali ke konsep yang diperkenalkan oleh Thorstein Veblen dalam bukunya yang berjudul “The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions” pada tahun 1899. Seorang ekonom dan sosiolog Amerika, Veblen berpendapat bahwa kepemilikan properti secara langsung terkait dengan status sosial seseorang dalam masyarakat.

Veblen menggunakan istilah “conspicuous consumption” atau “konsumsi yang mencolok” untuk menjelaskan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial seseorang.

Flexing merupakan cara di mana seseorang memamerkan keberhasilan dan kekayaan mereka kepada orang lain, biasanya melalui media sosial. Dengan membagikan foto, video, atau cerita tentang barang mewah, properti, atau pencapaian finansial, mereka berusaha menunjukkan prestasi mereka dan menciptakan kesan kesuksesan di mata audiens.

Lebih lanjut, flexing sering digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengakuan, rasa hormat, atau pujian dari orang lain, menciptakan citra diri yang sukses dan berkecukupan dalam pandangan masyarakat.

Tujuan & Penyebab Flexing

Apa yang mendorong seseorang untuk melakukan flexing? Sebelum membahas penyebabnya, mari memahami terlebih dahulu tujuan di balik tindakan tersebut. Menurut Rhenald Kasali, seorang akademisi dan praktisi bisnis terkenal, tujuan seseorang melakukan flexing adalah untuk mempromosikan diri atau mencari perhatian. Selain itu, flexing juga dapat bertujuan untuk menunjukkan eksistensi, memperkuat posisi sosial seseorang dalam masyarakat, dan meningkatkan rasa percaya diri.

Tujuan flexing tersebut kemudian berkaitan dengan alasan mengapa orang lain melakukan flexing. Salah satu penyebab flexing adalah rasa insecure, di mana orang ingin menonjolkan dirinya dan tidak ingin diremehkan. Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya flexing:

  1. Rasa Insecure

Flexing sering dikaitkan dengan orang kaya baru atau OKB, yang cenderung memamerkan kekayaannya. Orang yang baru memperoleh kekayaan mungkin merasa perlu memamerkannya sebagai bentuk balas dendam terhadap masa ketika mereka merasa diremehkan. Flexing menjadi cara untuk merasa lebih aman dan kuat.

  1. Mencari Perhatian

Pelaku flexing sering sadar bahwa perilakunya bisa dianggap menjengkelkan, tetapi mereka tidak peduli karena tujuan utama mereka adalah mencari perhatian. Semakin banyak orang yang merespons, semakin puas mereka merasa.

  1. Mencari Validasi

Beberapa orang melakukan flexing karena mereka mencari validasi dari orang lain. Mereka membutuhkan penilaian positif terhadap keberhasilan dan kekayaan yang mereka tunjukkan. Validasi dari orang lain menjadi sumber kepuasan dan kebanggaan bagi mereka.

  1. Tekanan Sosial

Flexing sering kali muncul dalam lingkungan kota besar di mana keberhasilan dan pencapaian dihargai tinggi. Di lingkungan semacam itu, tidak memamerkan kesuksesan dapat dianggap aneh. Sosial pressure mendorong orang untuk terus melakukan flexing agar tetap relevan dalam lingkungan tersebut.

  1. Kurang Berempati

Sebagian orang mungkin melakukan flexing tanpa alasan khusus, kecuali untuk sekadar pamer. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa perilaku tersebut dapat menciptakan kesenjangan sosial di sekitar mereka. Kurangnya empati terhadap perasaan orang lain yang merasa tidak nyaman dengan flexing menjadi salah satu penyebabnya.

Mengenal Dampak Negatif Flexing

Meskipun tindakan flexing yang digunakan untuk keperluan pemasaran dapat memberikan keuntungan, namun ketika flexing dilakukan dengan niat untuk memamerkan kekayaan, dampaknya bisa tidak menguntungkan. Berikut beberapa dampak negatif dari tindakan flexing yang bertujuan pamer kekayaan:

  1. Memaksakan Keadaan

Flexing yang dilakukan untuk pamer kekayaan dapat mendorong perilaku memaksakan keadaan. Individu yang terbiasa memamerkan barang-barang mewah cenderung ingin terus menunjukkan eksistensinya. Risikonya terletak pada ketidakmampuan untuk mempertahankan gaya hidup tersebut dalam jangka panjang. Hal ini dapat menyebabkan pemaksaan dan tekanan untuk mempertahankan citra tersebut, bahkan jika kondisi finansial tidak mendukung.

  1. Kesulitan Membangun Hubungan Sosial-Pertemanan

Meskipun banyak yang percaya bahwa kekayaan dapat menarik perhatian, dalam realitasnya, orang yang terlalu sering memamerkan kekayaan melalui flexing bisa mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sejati. Studi menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih suka bersahabat dengan individu yang memiliki kehidupan yang lebih sederhana daripada yang terlalu menonjolkan kemewahannya.

  1. Gangguan pada Kepribadian

Flexing yang berlebihan dapat mengganggu kepribadian seseorang. Menurut penelitian seorang psikolog dari Knox College yang menulis buku “The High Price of Materialism,” individu yang sering melakukan flexing cenderung kurang empati, kurang peduli terhadap orang lain, dan lebih kompetitif. Selain itu, mereka mungkin tidak mendukung prinsip-prinsip lingkungan yang berkelanjutan dan bisa mendukung pandangan yang merugikan dan diskriminatif.

Risiko Flexing dalam Dunia Kripto

Perlu dicatat bahwa di dalam industri aset kripto yang berkembang pesat, terdapat banyak cerita sukses yang diperlihatkan melalui media sosial oleh para influencer dan pengusaha. Meski memberikan platform bagi mereka untuk berbagi kisah sukses secara global, beberapa peristiwa tragis belakangan ini menunjukkan bahwa memamerkan kekayaan dari aset kripto dapat membawa risiko serius. Melangsir BeInCrypto, berikut ini beberapa contoh kasus terkait risiko flexing dalam dunia kripto yang perlu diketahui, yaitu:

  1. Fernando Perez Algaba

Salah satu insiden yang mencengangkan melibatkan Fernando Perez Algaba, seorang miliarder asal Argentina yang terkenal karena menyewakan kendaraan mewah, menjual kripto, dan membagikan gaya hidup mewahnya kepada hampir sejuta pengikut di Instagram. Algaba ditemukan dalam kondisi yang sangat tragis, yaitu jasadnya yang telah termutilasi ditemukan di dalam sebuah koper di dekat sungai di Buenos Aires.

Dalam pernyataan yang diberikan oleh saudara laki-laki Algaba, dia menyatakan, “Saya sudah [berada] di sini selama tiga hari dan hampir tidak tidur, merenung, memikirkan dengan keras bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi saya tidak akan tinggal diam; saya tidak akan menegakkan keadilan dengan tangan saya sendiri. Namun, saya berharap keadilan akan ditegakkan.”

  1. Peter Vuong dan Angel Bowyer

Namun, kasus tragis juga terjadi di Sydney, Australia, ketika Peter Vuong mengalami kisah menakutkan ketika diculik dari tempat tidur yang dia tempati bersama kekasihnya, seorang influencer bernama Angel Bowyer. Para penculik kemudian meminta uang tebusan sebesar US$5 juta dari keluarga Bowyer, yang merupakan seorang trader kripto bernama Tran Dinh.

“Mereka menetapkan tebusan US$5 juta… Jika Anda tidak bisa memenuhi permintaan kami, kami akan menyakiti anak Anda sedikit demi sedikit sampai Anda memberikan apa yang kami inginkan. Apakah Anda ingin melihatnya disakiti? Siapkan US$5 juta. Anda memiliki 24 jam untuk memberikan uang tebusan ini. Kami menunggu, waktu terus berjalan,” demikian bunyi pesan yang diduga berasal dari para penculik.

Waspada, Ciri-ciri Investasi Ilegal Bermodus Flexing

Perlu dicatat bahwa penipuan investasi dengan model konten flexing ala orang kaya dapat menimbulkan ketakutan bagi banyak orang yang berencana berinvestasi, termasuk di pasar saham, kripto, atau Bitcoin. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua platform atau aplikasi investasi online adalah penipuan. Berikut adalah beberapa tanda aplikasi investasi bodong yang perlu diidentifikasi agar dapat menghindari skema penipuan investasi:

Baca juga: Minim Literasi Keuangan, Ini Tips Hindari Investasi Bodong

Flexing adalah

1. Iming-iming Keuntungan Besar

Aplikasi investasi palsu sering menawarkan janji keuntungan yang tidak masuk akal dalam waktu yang sangat singkat, seperti hanya dalam 1—3 bulan. Investasi yang sehat biasanya memerlukan waktu lebih lama untuk memberikan hasil yang signifikan, dan keuntungan yang realistis selalu disertai dengan risiko yang sesuai. Platform investasi yang sah tidak akan memberikan janji keuntungan cepat dan tidak realistis. Sebaliknya, mereka memberikan panduan kepada investor tentang cara memaksimalkan hasil dengan memilih instrumen dan modal yang sesuai dengan jangka waktu investasi yang dipilih.

2. Aplikasi tidak Memiliki Izin Resmi

Sebelum tergoda untuk berinvestasi melalui aplikasi yang dipromosikan oleh YouTuber atau selebgram favorit, penting untuk memeriksa apakah aplikasi tersebut telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aplikasi yang diawasi dan memiliki izin dari BAPPEBTI dan OJK menandakan bahwa platform tersebut menjalani proses investasi sesuai dengan aturan dan regulasi yang berlaku, sehingga memiliki risiko penipuan yang rendah.

3. Merayu Audiens agar Mengikuti Invetasi

Ciri investasi ilegal bermodus flexing adalah merayu audiens melalui pameran kekayaan dan janji keuntungan besar agar ikut serta dalam investasi tertentu. Mereka menggunakan gaya hidup mewah dan promosi berlebihan untuk menarik orang agar terlibat dalam investasi yang sebenarnya tidak legal atau sah. Penting untuk tetap waspada terhadap taktik pemasaran yang bersifat merayu dan tidak transparan.

Tips agar Terhindar dari Flexing di Media Sosial

Mengetahui tips untuk menghindari flexing di media sosial membawa berbagai manfaat, terutama dalam menjaga kesehatan mental, keuangan, dan hubungan sosial seseorang. Untuk menghindari jebakan flexing, berikut beberapa tips yang dapat diterapkan:

  1. Saring Konten/Filter Media Sosial

Memang benar bahwa membagikan pencapaian di media sosial adalah hal yang wajar, namun penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari unggahan tersebut. Jagalah agar unggahan tetap sederhana dan bermakna, sesuai dengan pencapaian yang telah diraih.

  1. Berbagi Pencapaian dengan Makna

Saat membagikan pencapaian di media sosial, selalu sertakan alasan mengapa hal tersebut begitu berharga dalam hidup. Dengan demikian, unggahan tidak hanya menjadi pameran prestasi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi orang lain.

  1. Jangan Bergantung pada Media Sosial

Pahami bahwa setiap orang memiliki kondisi finansial yang berbeda. Oleh karena itu, tidak perlu mengikuti tren konsumtif hanya untuk terlihat mewah dan mencolok di media sosial. Pelajari kebutuhan sendiri dan belajarlah mencintai diri apa adanya.

  1. Banggakan Diri Sendiri

Pahami bahwa tidak perlu mendapatkan validasi dari orang lain untuk merasa bahagia. Banggalah dengan pencapaian dan nilai-nilai positif yang dimiliki tanpa harus tergantung pada pandangan orang lain. Setiap individu memiliki keunikan dan kehebatan masing-masing.

Kesimpulan

Flexing adalah sebuah istilah yang sering terdengar belakangan ini. Di samping itu, popularitas investasi kripto dalam beberapa waktu belakangan ini memiliki keterkaitan dengan praktik flexing. 

Seiring dengan kenaikan nilai aset kripto seperti Bitcoin, Ethereum, dan altcoin lainnya, individu yang telah berinvestasi dalam kripto dan meraih keuntungan besar sering menggunakan media sosial untuk memamerkan hasil investasi mereka. 

Mereka dapat berbagi tangkapan layar portofolio yang mencerminkan keuntungan yang signifikan, menciptakan kesan kesuksesan finansial.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami bahwa flexing bisa membawa risiko yang tidak diinginkan, terutama dalam konteks dunia kripto. 

Dalam hal ini, bijaksana untuk selalu berhati-hati dalam memberikan informasi keuangan secara terbuka dan menghindari memamerkan kekayaan dengan cara yang berlebihan.

Baca juga: Tips Bijak Kelola Gaji Nih! Biar Awet dan Ga Numpang Lewat Doang Lho!

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU