25.8 C
Jakarta
Jumat, 29 Maret, 2024

Minimnya Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan Masih Timbulkan Korban Jiwa

JAKARTA, duniafintech.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) gencar melakukan peningkatan literasi keuangan dan inklusi keuangan kepada masyarakat.

Langkah tersebut harus dilakukan secara paralel terhadap perkembangan financial technology (fintech) yang saat ini sudah berkembang dengan pesat. 

Apabila masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan, maka semakin banyak masyarakat bisa terlilit hutang baik dari perbankan maupun fintech seperti pinjaman online.

Lantas, bagaimana kondisi indeks literasi keuangan dan inklusi keuangan masyarakat saat ini? 

Baca juga: Edukasi Literasi Keuangan Digital Sejak Dini Banyak Manfaat

Apa itu Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan ? 

Berdasarkan penelusuran duniafintech.com dari beberapa sumber, literasi keuangan menurut OJK adalah ilmu, keahlian dan keyakinan yang mempengaruhi tingkah lalku manusia sebagai bentuk peningkatan kualitas pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan sehingga tercapainya kesejahteraan hidup. 

Menurut World Bank inklusi keuangan didefinisikan sebagai akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan yang bermanfaat dan terjangkau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun usahanya dalam hal ini transaksi, pembayaran, tabungan, kredit dan asuransi yang digunakan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. 

Perkembangan Survey Masyarakat Terhadap Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan

– Survey Tahun 2013 sampai Tahun 2016

Berdasarkan data dari Survey Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Pada tahun 2013, OJK melakukan survei nasional terhadap 8.000 responden yang tersebar di 40 Wilayah pada 20 Provinsi. Hasil survei pada tahun tersebut, menunjukkan masyarakat Indonesia memiliki indeks literasi keuangan sebesar 21,84 persen dan indeks inklusi keuangan 59,74 persen. 

Kemudian, OJK melakukan survey di tahun 2016. Untuk indeks literasi keuangan mengalami peningkatan sebesar 29,66 persen. Sedangkan untuk inklusi keuangan juga mengalami peningkatan menjadi 67,82 persen. 

– Survey Tahun 2019

Survey Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan 76,19 persen. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan hasil survey OJK di tahun 2016, yaitu indeks literasi keuangan 29,7 persen dan indeks inklusi keuangan 67,8 persen. 

Artinya dalam tiga terakhir terdapat peningkatan pemahaman keuangan (literasi) masyarakat sebesar 8,33 persen serta peningkatan akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan sebesar 8,39 persen. 

Dalam survey kali ini menggunakan metode parameter dan indikator yang sama yaitu indeks literasi keuangan yang terdiri dari parameter pengetahuan, ketrampilan, keyakinan, sikap dan perilaku. Sementara indeks inklusi keuangan menggunakan parameter penggunaan (usage).

Menurut OJK hasil survey tersebut menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh Lembaga Jasa Keuangan formal. Padahal, literasi keuangan merupakan keterampilan yang penting dalam rangka pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan individu, perlindungan konsumen dan peningkatan inklusi keuangan. 

-Survey Financial Health Index (FHI) Literasi Keuangan Tahun 2020 Indonesia Dibandingkan Negara Lain

Survey FHI untuk literasi keuangan di tahun 2020 yaitu sebesar 67 persen. Angka tersebut lebih baik dari tahun lalu yaitu sebesar 66 persen. Jika dibandingkan lima negara lain, Indonesia tergolong diatas Vietnam yaitu sebesar 64 persen. Skor tertinggi dipegang oleh Singapura dengan angka 79 persen, naik dari tahun lalu sebesar 78 persen. Posisi kedua diisi Hongkong dengan skor 72 persen. 

Kemudian, Filipina dengan 71% dan Thailand dengan 68%. Secara keseluruhan, rata-rata skor literasi keuangan masyarakat Asia Pasifik pada 2020 adalah 70%, turun dari tahun lalu yang sebesar 71%.

– Survey Inklusi Keuangan Tahun 2020

Berdasarkan data dari Survei Nasional Keuangan Inklusif yang dilakukan oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 81,4% orang dewasa pernah menggunakan produk atau layanan lembaga keuangan formal. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yaitu sebesar 78,8%. Sementara itu 61,7% orang dewasa telah memiliki akun. Angka ini juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018, yakni sebesar 55,7%.

“Meningkatnya inklusi keuangan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai upaya dan strategi yang dilakukan oleh anggota DNKI dan pemangku kepentingan terkait,” tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto 

– Survey Inklusi Keuangan Tahun 2021

Survei Nasional Keuangan Inklusif yang dilakukan oleh Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif bersama Bank Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia yang terus mengalami tren peningkatan. Dari sisi kepemilikan akun, 65,4% penduduk dewasa tercatat memiliki akun pada lembaga keuangan formal atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,7 persen poin dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara dari sisi penggunaan produk dan layanan keuangan formal, tercatat 83,6% masyarakat telah mengakses produk dan layanan keuangan formal.

Survei Nasional Keuangan Inklusif 2021 ini mencakup 7.500 sampel di 34 provinsi dengan mempertimbangkan gender, strata wilayah perkotaan/pedesaan, tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan, dan status pekerjaan.

literasi keuangan dan inklusi keuanganliterasi keuangan dan inklusi keuangan

– Survey Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan Tahun 2022

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 menunjukkan adanya peningkatan indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat.

Hasil SNLIK tahun 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Nilai ini meningkat dibanding hasil SNLIK 2019 yaitu indeks literasi keuangan 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

Friderica menjelaskan, SNLIK bertujuan untuk memetakan indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia termasuk literasi keuangan digital.

Proses pengambilan data SNLIK 2022 dilaksanakan mulai Juli hingga September 2022 di 34 provinsi yang mencakup 76 kota/kabupaten dengan responden sejumlah 14.634 orang berusia antara 15 s.d. 79 tahun yang dilakukan dengan metode wawancara secara tatap muka dan dibantu dengan sistem Computer-Assisted Personal Interviewing (CAPI).

Hasil SNLIK diharapkan dapat menjadi dasar bagi OJK dan seluruh stakeholders dalam membuat kebijakan, menyusun strategi, dan merancang produk/layanan keuangan yang sesuai kebutuhan konsumen serta bisa meningkatkan perlindungan masyarakat.

Baca juga: Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan Timpang, Timbulkan Korban

Dampak Minimnya Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan

Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno. Dia mengungkapkan sebanyak 35 persen masyarakat Indonesia sangat minim pengetahuannya soal literasi keuangan digital. Sehingga masyarakat tersebut menjadi sasaran empuk bagi predator di industri keuangan. Hal itulah yang menimbulkan adanya jarak bagi Lembaga Jasa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan edukasi tentang literasi keuangan digital.

“Itu sebabnya literasi keuangan itu penting sekali. 35 persen masyarakat yang rawan untuk dijadikan sasaran empuk bagi predator industri keuangan,” kata Hendrawan kepada duniafintech.com.

Hendrawan menghimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam menghadapi penawaran-penawaran dengan jumlah bunga imbalan yang tinggi, kemudian menawarkan prosedur peminjaman mudah. Selain itu, masyarakat juga diminta untuk berhati-hati dalam membaca klausul perjanjian saat proses peminjaman. 

Sebab, apabila dicermati dalam klausul peminjaman banyak sekali isinya yang merugikan masyarakat. Masyarakat juga diminta untuk memperhitungkan kemampuan keuangannya dalam melakukan peminjaman, apakah kedepannya mampu untuk ganti rugi atau tidak. 

“Sebelum masyarakat meminjam harus mempelajari persyaratan. Sebab dalam klausul perjanjian banyak posisi masyarakat yang dirugikan,” kata Hendrawan.

Sementara itu, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari mengungkapkan berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019, indeks literasi dan inklusi keuangan Indonesia mencapai 38,03 dan 76,19 persen. Secara rinci, untuk indeks literasi dan inklusi keuangan perempuan mencapai 36,13 persen dan 75,15 persen, lebih rendah daripada laki-laki. Sedangkan laki-laki mencapai 39,94 persen dan 77,24 persen. 

Dia mengharapkan perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) dapat memperkecil jarak tersebut antara laki-laki dan perempuan. Dia meyakini dengan adanya keuangan berbasis teknologi menjadi solusi untuk memperkecil jarak tingkat literasi keuangan maupun inklusi keuangan.

“Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan membutuhkan perhatian khusus,” kata Friderica. 

Untuk itu, dia menambahkan akan memperkuat perlindungan konsumen di era digital untuk meningkatkan kepercayaan perempuan dalam sistem keuangan formal. Tentunya OJK akan memberdayakan Satuan Tugas Percepatan Akses Keuangan untuk mengedukasi skema kredit melawan rentenir bagi perempuan di pedesaan. 

“OJK akan terus memperkuat perlindungan konsumen untuk menjaga kepercayaan perempuan,” kata Friderica. 

Deretan Derita Korban Minimnya Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan

Duniafintech.com merangkum beberapa peristiwa yang menghebohkan akibat teror juru tagih dikarenakan gagal bayar pinjol sehingga korban harus memutuskan bunuh diri:

  1. Seorang Perawat Inisial GRD (30) Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Surabaya (10 September 2022).

Perawat inisial GRD (30) tahun memutuskan bunuh diri akibat terjerat utang pinjol dan mendapatkan teror karena tidak mampu membayar cicilan. Dia ditemukan gantung diri di pintu kamar mandi. Jenazahnya ditemukan oleh ibu kandungnya. 

  1. Seorang Pegawai Bank Perkreditan Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Bojonegoro, Jawa Timur (23 Agustus 2021).

Korban memutuskan mengakhiri hidupnya akibat terlilit hutang pinjol mencapai Rp23,6 juta.

  1. Seorang Ibu Rumah Tangga WPS (38) Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Wonogiri, Jawa Tengah (2 Oktober 2021). 

Seorang wanita inisial WPS (38) bunuh diri, diduga tidak kuat menerima teror dari 23 juru tagih pinjaman online. Akibat tidak kuat menerima teror, Ibu Rumah Tangga tersebut dengan gelap mata memutuskan bunuh diri. 

  1. Seorang Pria Inisial AW (42) Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Bekasi, Jawa Barat (Oktober 2021).

Pria berinisial AW (42) bunuh diri dengan cara melompat dari rooftop mall akibat terlilit hutang pinjaman online ilegal. Korban meninggalkan surat wasiat mengenai utang pinjol kepada keluarganya. 

  1. Seorang Pria Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Depok (Maret 2020).

Pria tersebut bunuh diri lantaran tidak mampu membayar utang dari pinjaman online yang sudah jatuh tempo. Korban pertama kali ditemukan oleh sang istri. 

  1. Seorang Pemuda Inisial KS (25) Nyaris Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Duren Sawit, Jakarta Timur. (Oktober 2020)

Pemuda tersebut mencoba melakukan upaya bunuh diri akibat gagal bayar utang pinjol. Upaya bunuh diri tersebut dilakukan di salah satu minimarket, upaya tersebut digagalkan oleh pegawai minimarket, Namun saat ditemukan kondisi KS dalam keadaan kritis. 

  1. Seorang Supir Taksi ZF Bunuh Diri Akibat Gagal Bayar di Mampang, Jakarta Selatan (Februari 2019). 

Supir Taksi tersebut mengakhiri hidupnya karena terlilit utang pinjol yang tidak bisa dilunasi. Korban ditemukan di sekitar jalan Mampang, Jakarta Selatan.

Baca juga: Literasi Keuangan Syariah Indonesia Jadi Fokus Prudential

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU

LANGUAGE