JAKARTA, 6 Januari 2025 – Modus penipuan daring yang dikenal sebagai pig butchering telah mencuri miliaran dolar AS dari korban di berbagai belahan dunia. Sejak pandemi Covid-19, kasus penipuan ini semakin marak, memanfaatkan platform investasi palsu untuk memanipulasi emosi korban dan mengiming-imingi keuntungan besar.
Dalam praktiknya, pelaku biasanya mendekati korban melalui media sosial dengan berpura-pura menjadi teman atau pasangan romantis. Setelah membangun hubungan emosional, mereka membujuk korban untuk berinvestasi pada platform palsu yang diklaim mampu memberikan imbal hasil besar.
Pig Butchering, Skala Penipuan dan Keterkaitan dengan Kripto
Penelitian yang dilakukan oleh John Griffin, seorang profesor keuangan, menunjukkan bahwa jaringan kriminal di balik modus ini telah memindahkan dana lebih dari USD 75 miliar (sekitar Rp 1.211 triliun) selama empat tahun terakhir, sebagian besar melalui mata uang kripto seperti Tether. Selain itu, penipuan ini juga kerap dikaitkan dengan jaringan perdagangan manusia di kawasan Asia Tenggara.
Sosok Wan Kuok-koi alias ‘Broken Tooth’
Laporan dari The Wall Street Journal dan The Economic Times mengungkap bahwa dalang utama di balik modus pig butchering adalah Wan Kuok-koi, yang dikenal dengan julukan ‘Broken Tooth’. Julukan ini berasal dari kecelakaan motor yang membuat giginya rusak.
Wan adalah mantan pemimpin geng 14K Triad, sebuah kelompok mafia ternama di Makau pada era 1990-an. Ia pernah dipenjara selama 14 tahun karena kasus kejahatan terorganisir dan pencucian uang. Setelah bebas, Wan mengklaim dirinya telah beralih menjadi pengusaha.
Namun, hingga kini Wan diduga masih terlibat dalam aktivitas kriminal. Meskipun demikian, ia belum berhasil ditangkap, mencerminkan lemahnya penegakan hukum internasional.
Markas Operasi Penipuan di Kamboja
Pada tahun 2018, Wan mendirikan asosiasi Hongmen di Kamboja, yang mengklaim sebagai organisasi budaya. Namun, kelompok ini diduga terlibat dalam berbagai aktivitas kejahatan siber. Aktivitas mereka meluas ke Myanmar, dengan Dongmei Zone sebagai salah satu markas utamanya.
Menurut investigator, Dongmei Zone menjadi pusat perdagangan manusia dan penipuan online. Ribuan orang dijebak dengan janji pekerjaan legal, tetapi malah dipaksa menyerahkan paspor dan dilibatkan dalam operasi penipuan di bawah pengawasan ketat.
Lu Yihao, seorang korban asal China yang diperbudak di Dongmei selama tujuh bulan, mengungkapkan bahwa kawasan tersebut sengaja dibangun untuk aktivitas kriminal. PBB memperkirakan lebih dari 200.000 orang terjebak di pusat-pusat penipuan serupa di Asia Tenggara.
Upaya Penegakan Hukum yang Terbatas
Meskipun Amerika Serikat telah melakukan investigasi dan menjatuhkan sanksi di Malaysia, Thailand, dan Kamboja, penegakan hukum belum mampu menghentikan praktik ini secara efektif. Otoritas mengakui adanya tantangan yurisdiksi yang membatasi upaya mereka.
Wan sendiri terus membantah keterlibatannya dalam aktivitas ilegal. Pada 2020, ia menyatakan melalui video bahwa asosiasi Hongmen beroperasi sesuai hukum. Perwakilan Hongmen juga menyebut Wan telah meninggalkan dunia kriminal dan fokus pada bisnis legal.
Namun, keberadaan Wan hingga kini sulit dilacak. Ia dilaporkan berpindah-pindah antara Makau, Hong Kong, dan Kuala Lumpur.