Laporan terbaru Bank Dunia mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak di Indonesia tergolong buruk dibandingkan negara-negara tetangga.
Rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah standar internasional yang merekomendasikan minimal 15%. Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah masih menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan pendapatan negara, yang berimplikasi pada bebean keberlanjutan fiskal serta kemandirian keuangan.
“Pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah, dan kinerja pemungutan pajak yang baik mencerminkan kemandirian fiskal suatu negara, mengurangi ketergantungan pada utang,” ujar Dosen FEB UGM Dr. Rijadh Djatu Winardi, Selasa (8/4) dikutip dari website resmi UGM.
Peningkatan Utang dan Penerimaan Pajak Rendah
Meskipun lembaga pemeringkat Fitch Ratings menilai rasio utang pemerintah Indonesia sebesar 39,6% dari PDB pada Januari 2025 masih tergolong rendah, namun peningkatan utang tanpa diimbangi dengan peningkatan penerimaan tax dapat memperburuk beban keuangan negara.
Dosen FEB UGM ini menuturkan kinerja penerimaan pajak di Indonesia dianggap buruk disebabkan beberapa faktor yakni, pertama, Indonesia kehilangan potensi pendapatan pajak hingga Rp546 triliun per tahun akibat ketidakpatuhan pajak, terutama pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Kesenjangan kepatuhan PPN di Indonesia tercatat mencapai 43,9% dari total kewajiban pajak, setara dengan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Penyebabnya karena ketidakpatuhan wajib pajak, administrasi pajak yang kurang efektif, serta sektor informal,” katanya.
Sementara itu, PPh Badan atau Corporate Income Tax (CIT) juga mengalami kesenjangan besar. Potensi pendapatan yang hilang dari CIT mencapai Rp160 triliun setiap tahun, setara dengan 33% dari CIT Total Tax Liability (CTTL) atau 1,1% dari PDB. Faktor serupa, yakni ketidakpatuhan dan administrasi yang tidak efektif, menjadi penyebab utama dari masalah ini.
Selain itu, laporan Bank Dunia juga menyebutkan bahwa threshold omzet UMKM yang cukup tinggi, yakni Rp4,8 miliar, turut berperan dalam rendahnya penerimaannya. Wajib Pajak (WP) di bawah threshold ini memperoleh tarif PPh Final yang rendah, yaitu 0,5%, dan tidak wajib memungut PPN.
Kedua, masalah potensi pajak ‘underground economy’ menurutnya sudah cukup lama menjadi perhatian pemerintah. Ekonomi bawah tanah ini merupakan bagian dari aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi dalam sistem statistik nasional, baik karena sengaja disembunyikan untuk menghindari pajak dan regulasi, maupun karena bersifat informal. “Untuk masalah tax ratio sebabnya salahnya adalah karena misalnya di 2024 ada sebanyak 47% perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Pengumpulan pajak hanya dilakukan pada 53% basis pajak. Selain itu, banyak insentif pajak dan dampak COVID-19 turut memperburuk penerimaan pajak,” tuturnya.
Sebagai perbandingan, Rijadh menyebutkan negara Georgia untuk dijadikan pembelajaran. Georgia berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dari 12% menjadi 25% pada tahun 2008, meskipun di tengah penurunan tarif pajak. Keberhasilan ini tentu dicapai melalui langkah-langkah tepat, seperti memiliki mandat yang jelas dengan visi dan tujuan yang terdefinisi, mengamankan komitmen politik tingkat tinggi, menyederhanakan sistem pajak dan mengurangi pengecualian untuk meningkatkan transparansi, mereformasi pajak barang dan jasa, serta melakukan reformasi administrasi pajak melalui peningkatan teknologi, pelatihan staf, dan penegakan hukum.
Di sisi lain, rendahnya penerimaan pajak berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam jangka pendek, hal ini mempersempit ruang fiskal, membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program pembangunan strategis seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Akibatnya, proyek penting bisa tertunda, skala program dikurangi, atau anggaran diperketat, yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada utang menciptakan kerentanan terhadap gejolak ekonomi global, meningkatkan beban utang dan semakin mempersempit ruang fiskal.
Untuk memperbaiki masalah penerimaan pajak, Rijadh juga menyebutkan beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa dilakukan antara lain memetakan kegiatan ekonomi informal dan bawah tanah, yang selama ini sulit dipantau. Selain itu, perluasan basis pajak serta peningkatan kepatuhan wajib pajak juga penting untuk mengatasi kesenjangan penerimaan. “Solusi lain yang bisa dipertimbangkan adalah pajak kekayaan, pajak produksi batu bara, serta windfall tax. Tentunya semua alternatif ini memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” pungkasnya.