33 C
Jakarta
Jumat, 3 Mei, 2024

Pengusaha Sawit Blak-blakan soal Alasan di Balik Kelangkaan Minyak Goreng

JAKARTA, duniafintech.com – Pengusaha minyak kelapa sawit blak-blakan terkait alasan di balik kelangkaan minyak goreng dalam kemasan belakangan ini. Mereka menuding, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng ini memicu pasar gelap (black market).

Kebijakan itu menimbulkan perbedaan signifikan antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga eceran. Menurut Direktur Utama PT Sumi Asih, Alexius Darmadi, sistem Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), dan HET yang ditetapkan oleh pemerintah telah menyuburkan praktik black market. Terkait hal itu, pedagang minyak goreng dadakan pun muncul di mana-mana.

“Bahwa ini ada gap, saya heran, kok yang dikeluarkan pengusaha sawit kok enggak ada di pasaran? Ini sudah pasti ada black market,” kata Alexius dalam webinar Majalah Sawit Indonesia, dikutip dari CNNIndonesia.com, Sabtu (12/3/2022).

Adapun penetapan HET memang memiliki tujuan baik, tetapi dirinya menyatakan bahwa hal itu justru membuat pedang limbung. Akibatnya, harga minyak goreng di pasaran tidak sesuai harga di pasaran.

Ditambahkannya, kebijakan ini terkait dengan pasokan minyak yang hilang beberapa waktu lalu. Toko yang pada mulanya menyediakan minyak goreng sawit, lantas raib lantaran ketentuan HET. Selain itu, ia pun memandang bahwa HET memicu kericuhan antara Satgas Pangan dan produsen minyak goreng yang tidak melakukan ekspor.

“Kalau dengan sistem DMO, DPO, dan HET, apakah itu bisa jalan? Ini membuat kericuhan dalam kita sendiri antara Satgas Pangan dan produsen yang tidak berkaitan dengan ekspor. Tetapi apa Satgas itu tahu, bukan meremehkan, tapi sosialisasinya kan butuh waktu. Ini jadi simpul kericuhan ini semua,” paparnya.

Di lain sisi, terkait dengan isu penyelundupan minyak goreng, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), Sahat Sinaga, memandang bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Ia menilai, aparat penegak hukum sudah ketat mengendalikan penyelundupan.

“Saya pribadi sudah di industri minyak goreng hampir 35 tahun. Kalau dulu, 1998, pada ekspor tinggi, memang banyak penyelundupan. Namun, sekarang, bea cukai kami sudah canggih dan tidak mungkin ada penyelundupan,” sebutnya.

Pengusaha protes

Sahat Sinaga pun mengungkap bahwa industri kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan kewajiban alokasi minyak goreng untuk kepentingan dalam negeri domestic market obligation (DMO) menjadi 30 persen dari total ekspor.

“Saya sangat kecewa sekali, seolah-olah eksportir kami gimana gitu, padahal mereka yang membawa devisa dan membayar pajak. Demikian susahnya. Terus terang, kami tidak setuju dengan DMO 30 persen. Ini memojokkan eksportir nasional,” tegasnya.

Diterangkannya, kebutuhan minyak goreng dalam negeri sudah cukup dengan kebijakan DMO 20 persen. Hal itu karena produksi minyak kelapa sawit dan minyak kernel mentah pada tahun ini sangat cukup untuk menutupi kebutuhan masyarakat.

“Produksi CPO dalam negeri itu 49 juta ton, sementara produksi CPKO 4,7 juta ton, jadi totalnya 53,7 juta ton. Padahal, kebutuhan per bulan hanya 330.311 kilo liter, kalau setahun jadi 4,9 juta ton. Artinya, hanya 10 persen minyak goreng dari CPO kami, tidak perlu khawatir, kami juga bingung, kenapa sedemikian chaos,” jelasnya.

Jika kewajiban pemenuhan minyak goreng dinaikkan, kata dia lagi, hal itu bakal menyulitkan eksportir minyak goreng. Di sisi lain, ia pun mengapresiasi langkah Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, yang sudah berhasil mengumpulkan sebanyak 415.780 kiloliter minyak goreng lewat kebijakan DMO 20 persen.

“Saya pribadi kagum dengan Pak Menteri (Mendag). Awalnya, saya skeptis dengan DMO 20 persen. Ternyata, kagetnya, itu bisa mencapai 415.780 kiloliter dalam 22 hari. Ini pertanda baik, malah dinaikkan ke 30 persen,” tuturnya.

Oleh sebab itu, dirinya meminta pemerintah untuk membatalkan kebijakan ini. Sependapat, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, semestinya pemerintah lebih bijak mengambil keputusan. Hal itu karena dalam waktu dekat bakal memasuki bulan Ramadan dan Lebaran. Jika kebijakan ini diimplementasikan, dirinya khawatir bahwa hal itu bakal berdampak buruk terhadap masyarakat.

“Padahal,  sebentar lagi Ramadan dan Lebaran. Ini harus ada concern pemerintah bahwa kalau ini enggak selesai, ini jadi bahaya. Nanti malah makin kacau,” tegasnya.

 

Penulis: Kontributor/Boy Riza Utama

Admin: Panji A Syuhada

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU

LANGUAGE