JAKARTA, 20 Oktober 2024 – Aplikasi Temu incar pasar Indonesia. Dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara, sehingga tak heran jika platform e-commerce asal China, Temu, tertarik untuk memasuki pasar domestik yang kompetitif meskipun menghadapi hambatan dari pemerintah.
Verma Bhasin, seorang analis dari Deutsche Bank, menyatakan bahwa wajar bagi platform e-commerce asing untuk tertarik beroperasi di Indonesia, mengingat besarnya pangsa pasar di negara ini. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai industri e-commerce domestik diperkirakan akan mencapai US$95 miliar pada tahun 2025.
Aplikasi Temu Incar Pasar Indonesia, Kenapa?
Indonesia juga menempati posisi kedua dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di Asia Tenggara setelah Vietnam. E-commerce berkontribusi besar terhadap ekonomi digital Indonesia yang tercatat sebesar US$59 miliar pada tahun 2022.
Catherine Lim, seorang analis Bloomberg Intelligence yang berfokus pada sektor konsumen dan teknologi, menyebutkan dalam laporannya pada tahun 2023 bahwa Temu, bersama dengan Shein, agresif memasuki pasar ritel online di Asia Tenggara.
Persaingan di pasar ini berpotensi semakin ketat, mengingat Sea, pemilik Shopee, dan Lazada yang didukung oleh Alibaba, merupakan pemain nomor satu dan dua di kawasan ASEAN, menurut Lim.
Saat ini, Temu, bagian dari PDD Holdings Inc, masih berada di peringkat 20 besar aplikasi e-commerce yang paling banyak diunduh di Asia Tenggara dengan 2 juta unduhan pada tahun 2023. Meskipun jumlah tersebut masih jauh di bawah Shopee (84,9 juta), Lazada (45,8 juta), dan TikTok Shop (20,3 juta), Temu diperkirakan akan mencapai nilai perdagangan kotor (GMV) bulanan sekitar US$4 miliar, mendekati titik impas EBITDA, seperti yang dilaporkan oleh Momentum Works.
Perkembangan Pesat Temu di Pasar Global
Pertumbuhan Temu dalam satu tahun terakhir cukup mengesankan, dengan platform yang menawarkan produk-produk dengan harga kompetitif ini kini beroperasi di 78 negara di seluruh dunia.
Tantangan Temu dalam Memasuki Pasar Indonesia
Meskipun prospek Temu di Indonesia menjanjikan, aplikasi ini menghadapi berbagai hambatan. Pemerintah Indonesia telah menyatakan kekhawatiran bahwa keberadaan Temu dapat merusak ekosistem perdagangan lokal, terutama mengancam kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meski demikian, ada kekhawatiran apakah jika Temu berhasil beroperasi di Indonesia, hal ini akan berujung pada dampak negatif yang signifikan, seperti yang sebelumnya terjadi dengan TikTok Shop yang akhirnya bisa beroperasi melalui akuisisi Tokopedia.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya mencegah masuknya produk asing, khususnya melalui platform marketplace asing. Temu saat ini belum memiliki izin penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) di Indonesia, sehingga belum dapat beroperasi secara legal di pasar lokal. Produk yang dijual di Temu pun dianggap tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan, yang berpotensi merugikan konsumen.
Kominfo telah melakukan berbagai langkah, termasuk mengirimkan surat kepada pengelola toko aplikasi Google dan Apple, meminta agar aplikasi Temu diblokir. Langkah ini diharapkan dapat membatasi masuknya barang impor yang dijual baik secara online maupun di pasar offline.
Mengapa Aplikasi Temu Menarik Perhatian Pengguna?
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Moga Simatupang, menegaskan bahwa Temu belum bisa beroperasi di Indonesia karena belum memenuhi syarat perizinan penyelenggaraan perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE). Menurut Moga, semua kegiatan bisnis di Indonesia harus mengikuti regulasi yang berlaku, termasuk aturan untuk perdagangan lintas negara yang menetapkan minimal nilai barang sebesar US$100.
Fiki Satari, Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kementerian Koperasi dan UKM, juga menyebut bahwa Temu pernah mencoba mengajukan izin merek dagang di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan HAM, namun terkendala karena ada perusahaan lokal dengan nama yang serupa dan kode klasifikasi bidang usaha yang hampir sama.
“Kita harus tetap waspada dan mengawal perkembangan ini,” tegas Fiki.