JAKARTA, 30 Oktober 2024 – Salah satu pakar asuransi di Indonesia ikut bersuara pasca dilontarkan ke publik wacana Presiden Prabowo menghapus tagih atau pemutihan utang enam juta nelayan dan petani di bank berdampak luas ke sejumlah sektor.
Diantaranya, berdampak besar pada industri asuransi.
Menurut Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman menjelaskan secara umum kebijakan ini memberikan dampak positif.
Hal itu akan terjadi jika pemerintah menghapus utang dalam bentuk pelunasan ke bank atau lembaga pembiayaan lainnya.
Artinya, penjaminan atau asuransi kredit yang sudah melakukan pembayaran klaim sesuai ketentuan polis akan mendapatkan hak subrogasi atau pendapatan pengembalian pinjaman.
“Dari dampak negatif, tentunya ke depan akan meningkatkan risiko kredit karena adanya potensi moral hazard untuk tidak bayar bagi nasabah baru atau top up,” kata Wahyudin.
Ditinjau dari segi kesiapan industri, menurutnya industri asuransi perlu melakukan pencadangan khusus dan melakukan evaluasi ulang pada cadangan untuk mengantisipasi kebijakan serupa di masa depan.
Pakar Asuransi: Lakukan Penyesuaian
Selain itu, industri juga perlu melakukan penyesuaian produk penjaminan atau asuransi kredit bagi petani dan nelayan dengan penambahan premi atau penyesuaian syarat dan ketentuan.
Sementara dampak dari kebijakan hapus utang bagi likuidasi asuransi, menurutnya bergantung pada besarnya eksposur perusahaan terhadap segmen nelayan dan petani.
Wahyudin menyadari kebijakan ini memang bisa berisiko pada likuiditas beberapa lembaga penjaminan dan asuransi kredit.
Namun, dengan penyesuaian kebijakan pencadangan yang tepat serta penyesuaian premi untuk menutup risiko tambahan, risiko likuidasi dapat ditekan.
Menurutnya, kebijakan penghapusan utang dalam skala besar bisa menjadi preseden yang menciptakan ekspektasi pasar bahwa kebijakan serupa mungkin terjadi lagi di masa depan.
Dalam konteks ketahanan industri, Wahyudin memiliki beberapa poin catatan.
“Pertama adalah penguatan modal dan cadangan. Perusahaan asuransi dan penjaminan yang kuat akan menjaga ketahanan melalui penguatan modal dan dana cadangan. Modal yang kuat akan memungkinkan perusahaan menghadapi kejutan ekonomi yang tidak terduga, termasuk kebijakan penghapusan utang,” kata dia.
Kedua, adaptasi terhadap kebijakan pemerintah.
Menurutnya, perusahaan perlu mengantisipasi risiko kebijakan melalui adaptasi strategis, seperti memantau kebijakan ekonomi pemerintah, serta memperhitungkan perubahan kebijakannya
Ketiga, adalah soal prospek diversifikasi dan inovasi produk.
Wahyudin menyarankan industri asuransi perlu mempertimbangkan untuk menciptakan produk yang mampu menyeimbangkan risiko bagi nasabah di sektor-sektor lain, seperti UMKM non-pertanian atau sektor jasa.
Diversifikasi ini menurutnya akan meningkatkan daya tahan industri terhadap kebijakan sektor tertentu yang berdampak besar.
Risiko Pemutihan Utang
Wacana Presiden Prabowo menghapuskan atau pemutihan utang bank dari enam juta petani dan nelayan bakal berdampak pada perusahaan asuransi kredit dan perusahaan penjaminan.
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim menilai sebelum kebijakan tersebut dieksekusi, perlu dicermati lagi utang yang dihapus tersebut apakah hanya kepada kredit macet atau keseluruhan outstanding utang nelayan dan petani.
“Kalau hanya atas kredit macet, lalu bagaimana dengan yang sudah diklaim asuransi kreditnya? Apakah bisa di-recovery dari banknya?” kata Abitani.
Menurutnya, perusahaan asuransi atau penjaminan perlu membuat aturan atas kebijakan pemerintah tersebut agar tidak menjadi beban bagi perusahaan karena tidak dapat menagih kembali uang jaminan atas kredit macet tersebut.
“Perusahaan juga perlu mengevaluasi iuran penjaminan atau asuransi kreditnya dengan mempertimbangkan risiko penghapusan utang tersebut, termasuk meningkatkan cadangannya,” kata Abitani.
Apalagi, Abitani memandang ketahanan industri asuransi dan penjaminan saat ini cukup menantang, dengan portofolio yang besar beserta jangka waktu penjaminan yang panjang, ditambah peraturan OJK yang mengatur kembali jaminan atau manfaat yang dapat diberikan oleh perusahaan asuransi baik umum dan jiwa.
“Ditambah dengan hardening market reasuransi. Belum lagi kesulitan dalam me-recovery jaminan atau klaim yang sudah dibayar,” pungkasnya.
Menurut Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM, Kapler Marpaung menyoroti kondisi ketahanan industri asuransi.
Menurutnya industri ini sempat bermasalah dengan likuiditasnya karena banyaknya klaim asuransi kredit.
Dia melihat saat ini industri asuransi mulai menerima risiko kredit dengan proses underwriting yang ketat.
“Nah, pada saat industri asuransi memulai buka keran untuk menerima risiko kredit dengan seleksi risiko yang prudent, di sisi lain kita dihadapkan pada penilaian moral hazard yang semakin buruk. Kenapa buruk, karena ada pemikiran bahwa kelak debitur bisa dihapus utangnya. Nah ini kurang baik, atau tidak baik bagi industri asuransi,” kata Kapler.
Dengan demikian, Kapler meminta pemerintah sebelum membuat kebijakan harus hati-hati dan harus melihat kepentingan semua stakeholders.
“Pemerintah perlu membentuk pokja lebih dulu, ajak diskusi semua lembaga jasa keuangan termasuk perusahaan asuransi,” kata Kapler.
Kredit MacetÂ
Analis senior bidang Perasuransian Irvan Rahardjo mengatakan jika utang yang dihapus adalah kredit macet.
Maka tidak akan menimbulkan klaim asuransi kredit.
Namun, hal itu bisa berdampak dari sisi pendapatan industri asuransi, walaupun dampaknya minor.
“Yang mungkin terdampak dari sisi subrogasinya, tapi karena kecil dampaknya juga kecil. Jadi tidak perlu adanya strategi pencadangan khusus,” kata Irvan.
Merunut beberapa tahun ke belakang, Irvan menjelaskan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) mulai dilaksanakan oleh dua perusahaan anggota Holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi (Indonesia Financial Group/IFG), PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) dan PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) pada akhir 2007, Dua tahun berselang, pada 2009 hingga 2010.
Irvan menjelaskan saat itu terjadi klaim besar-besaran terutama dari Bank BRI.
Namun, kondisi di saat itu tidak sampai mengganggu keuangan Askrindo karena suntikan modal dari negara berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) khusus untuk penjaminan kredit.
Setelah kondisi itu normal, Irvan menjelaskan pada era pasca pandemi Covid-19 klaim asuransi kredit kembali meningkat, tetapi tetap terkendali karena terlindungi penjaminan dari perusahaan-perusahaan milik negara.
Dengan adanya ekspektasi pasar bahwa kebijakan hapus utang enam juta petani dan nelayan bisa menjadi preseden kebijakan di masa yang akan datang, Irvan menilai perlu ada kebijakan penjaminan kredit yang khusus menyasar dua segmen terebut.
“Sekiranya di masa yang akan datang diarahkan untuk meng-cover kredit usaha tani, kiranya akan di-cover via penjaminan kredit yang dana penjaminannya disiapkan pemerintah,” pungkasnya.