JAKARTA, 13 November 2024 – Regulasi PKA diharapkan selesai akhir tahun ini untuk melengkapi sistem penilaian kredit bagi lembaga pembiayaan. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyambut baik hadirnya pemeringkat kredit alternatif (PKA) atau dikenal dengan Initiative Credit Scoring (ICS).
PKA memberikan nilai tambah dengan menyediakan data dari berbagai aspek kehidupan calon peminjam, termasuk catatan pembayaran utilitas seperti listrik, telepon, hingga kegiatan mereka di media sosial. Pendekatan ini diyakini akan memperluas akses bagi masyarakat ke pembiayaan fintech, khususnya dalam industri peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online.
Kuseryansyah, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI, menegaskan bahwa kehadiran PKA bukanlah untuk memperketat syarat peminjaman, melainkan untuk meningkatkan peluang akses bagi beragam segmentasi masyarakat.
Menurutnya, industri pinjol selama ini telah menggunakan data dari fintech data center sebagai dasar penilaian calon peminjam, dan PKA akan memperkaya informasi untuk memotret profil kredit calon peminjam secara lebih mendalam.
Kuseryansyah, yang juga menjabat sebagai CEO 360Kredi, menguraikan bahwa data dari PKA memungkinkan penilaian yang lebih menyeluruh terhadap calon peminjam dari berbagai latar belakang.
Ia mencontohkan, untuk peminjam dengan jumlah pinjaman kecil dan jangka waktu singkat, data seperti langganan listrik atau telepon mungkin sudah memadai sebagai dasar evaluasi. Namun, untuk pinjaman dengan nilai lebih besar dan tenor lebih panjang, informasi tambahan seperti data dari Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), non-SLIK, dan data dari ICS diperlukan untuk analisis yang lebih kompleks.
“Kalau datanya semakin lengkap, kita semakin bisa mengenal calon peminjam secara lebih komprehensif. Prinsipnya, industri pinjam-meminjam semakin diuntungkan dengan semakin banyaknya data yang bisa diakses untuk melakukan analisis kredit,” ujar Kuseryansyah.
PKA Akan Membantu Pemain P2P Lending
Kehadiran PKA, menurut Kuseryansyah, akan membantu pemain P2P lending dalam mengukur risiko dengan lebih akurat. Semakin lengkap informasi yang tersedia, semakin jelas pula profil risiko peminjam, memungkinkan platform fintech memilih segmen yang ingin mereka sasar sesuai dengan profil risiko yang dikehendaki.
Ia menambahkan, setiap individu memiliki skor yang menggambarkan seberapa besar risiko mereka, dan dengan informasi yang memadai, platform dapat menargetkan berbagai segmen—mulai dari risiko rendah hingga tinggi—sesuai dengan strategi mereka.
Regulasi PKA Memasuki Tahap Akhir
Di sisi regulasi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hasan Fawzi, mengungkapkan bahwa penyusunan regulasi PKA telah memasuki tahap akhir. Menurut Hasan, proses harmonisasi aturan ini sudah berlangsung dan diharapkan selesai dalam waktu satu bulan, atau paling lambat akhir tahun ini.
Ia menyebutkan bahwa saat ini terdapat empat penyelenggara ICS yang sudah lolos tahap regulatory sandbox dan resmi terdaftar, serta sepuluh calon penyelenggara lain yang sedang menunggu persetujuan di tahap regulatory sandbox untuk mendapatkan izin resmi dari OJK.
Dengan regulasi yang akan datang, para penyelenggara ICS akan diakui setara dengan Penyelenggara Usaha Jasa Keuangan (PUJK), yang menandakan mereka berada di bawah pengawasan OJK dan diatur sesuai standar yang ketat. Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi konsumen yang menggunakan layanan ICS sebagai sumber penilaian kredit.
PKA diharapkan dapat membantu menyelesaikan berbagai tantangan dalam penyaluran pinjaman di industri fintech. Banyak masyarakat di Indonesia yang belum terjangkau oleh sistem perbankan tradisional dan tidak memiliki riwayat kredit yang lengkap.
Dengan ICS, masyarakat yang mungkin tidak memiliki akses ke layanan perbankan dapat memperoleh penilaian kredit yang adil melalui data alternatif yang mencerminkan kebiasaan mereka, seperti pembayaran tagihan listrik atau aktivitas di media sosial.
Tren pemeringkatan kredit alternatif ini sebenarnya bukan hal baru dan telah digunakan di berbagai negara. Di Amerika Serikat, perusahaan seperti Experian dan FICO telah menggunakan metode serupa untuk menilai kelayakan kredit bagi mereka yang tidak memiliki riwayat kredit formal.
Demikian pula, di India, perusahaan fintech menggunakan data pembayaran utilitas dan telekomunikasi sebagai bagian dari skoring kredit. Dengan demikian, PKA di Indonesia sejalan dengan praktik global dalam inovasi penilaian kredit yang inklusif.
Dari sisi manfaat, PKA diyakini mampu mengurangi tingkat gagal bayar karena akses data yang lebih lengkap memungkinkan penyedia pinjaman memilih calon peminjam dengan lebih hati-hati. Selain itu, adanya ICS memungkinkan fintech P2P lending untuk mendiversifikasi portofolio kreditnya dengan menargetkan berbagai profil risiko.
Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak inovasi dalam skema penilaian kredit ini, termasuk penggunaan teknologi AI dan machine learning untuk memberikan analisis yang lebih akurat dan real-time.
Dengan data yang semakin lengkap dan regulasi yang mendukung, para pelaku fintech optimis bahwa PKA akan meningkatkan kepercayaan investor dalam industri P2P lending. Dukungan OJK terhadap regulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan sektor fintech yang inklusif dan berkelanjutan.
Inisiatif ini merupakan langkah maju yang penting bagi industri fintech di Indonesia. Dengan adanya PKA, ekosistem pinjaman online diharapkan dapat tumbuh lebih sehat dan stabil, memberikan manfaat tidak hanya bagi penyedia layanan tetapi juga bagi masyarakat luas yang selama ini belum tersentuh oleh layanan keuangan formal.