duniafintech.com – Satu lagi perusahaan financial technology (fintech) resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perusahaan tersebut adalah PT Qreditt Indonesia Satu atau lebih dikenal dengan Qreditt.
Qreditt merupakan perusahaan fintech yang menyelenggarakan layanan pinjam-meminjam langsung atau peer to peer (P2P) lending. Qreditt melengkapi 22 fintech P2P lending yang telah lebih dulu mendapatkan izin dari otoritas.
Berdasarkan pengumuman yang dirilis OJK melalui laman resminya, Qreditt telah mendapatkan izin untuk menyelenggarakan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Surat tanda bukti terdaftar telah diberikan oleh Plt. Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Asep Iskandar kepada perseroan pada 16 Oktober 2017 dengan nomor surat terdaftar S-5039/NB.111/2017 dan baru ditetapkan pada 18 Oktober 2017.
Sebelumnya, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, OJK baru mencatat sebanyak 22 fintech lending yang telah mendapatkan legalitas atau perizinan usaha hingga saat ini. Sebanyak 32 perusahaan fintech lending masih dalam proses atau masuk dalam daftar tunggu.
Regulator menilai Indonesia masih membutuhkan lebih banyak perusahaan finansial teknologi untuk memperluas jangkauan pinjaman. OJK memproyeksikan perlu setidaknya 800 fintech lending untuk mengisi gap pendanaan.
Sebelumnya, OJK mengharapkan semakin banyak jumlah startup teknologi finansial di Indonesia. Hendrikus mengatakan, semakin banyak fintech, maka dapat berdampak positif.
Kami dari OJK sangat mendorong. Semakin banyak semakin bagus,” lanjutnya.
Dia menambahkan, permasalahan utamanya di Indonesia adalah terdapat kebutuhan pendanaan yang besar, sedangkan dari lembaga yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Begitu banyak orang butuh uang, tapi ketersediaan dana tidak ada. Jadi pangsa pasar sangat besar. Kita butuh banyak,” ujarnya.
Dia mencontohkan di Cina, pada awalnya ketika ekosistem digital untuk fintech berkembang terdapat sekitar 4.000 fintech untuk pinjam-meminjam. Namun, setelah adanya regulasi menyusut hanya sekitar 2.000.
Indonesia mungkin butuh sekitar 800,” katanya.
Dia menambahkan, sebaiknya fintech untuk pinjam-meminjam dapat bersinergi dan berkolaborasi di daerah utnuk memahami budaya setempat.
Tidak berarti 800 startup yang harus memulai. Bisa berkerja sama untuk mesinnya dari startup fintech yang ada,” katanya.
Di tempat terpisah, Co-Founder Asosiasi Fintech Indonesia Izak Jenie mengatakan, saat ini industri fintech yang tengah naik daun di Indonesia masuk dalam kategori P2P lending atau fintech lending. Kemudian tidak hanya fintech lending, beberapa perusahaan juga sudah mulai mengembangkan Bitcoin exchange atau alternative currency.
“Payment juga sudah banyak, tapi masih belum membuat produk,” jelas Izak ditemui beberapa waktu lalu. Startup fintech rata-rata sudah memiliki lisensi, tetapi belum mempunyai produk.
Kendala para pemain belum membuat produk juga terkait regulasi. Misalnya, pada saat perusahaan membuat payment harus memiliki lisensi bagus karena tergolong berbahaya apabila tidak memiliki produk yang cukup bagus.
Regulasi tersebut mengacu pada regulasi Bank Indonesia (BI) untuk memegang kendali. Contohnya, perusahaan memiliki 1 juta member dengan dompet virtual masing-masing anggota berisi Rp 1 juta. Apabila dijumlah, maka akan ada sekitar Rp 1 triliun.
Source:
- bisnis.com
- republika.co.id
Written by: Sebastian Atmodjo