JAKARTA, duniafintech.com – Pertamina harus menaikkan harga bahan bakar minyak non-subsidi Pertamax. Hal itu dikemukakan oleh Ketua Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi. Pasalnya, Indonesia merupakan negara dengan harga Pertamax terendah di kawasan Asia Tenggara.
“Dikhawatirkan jika harga di Indonesia sangat rendah, maka bisa memicu aksi penyelundupan ke negara negara ASEAN dimaksud,” kata Tulus saat dihubungi Duniafintech.com, Rabu (30/3/2022).
Tulus menjelaskan, harga Pertamax di Indonesia hanya dipatok sebesar Rp9.000/liter, jauh lebih rendah dari harga bahan bakar serupa di negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura yang harganya mencapai Rp30.800/liter.
Begitu juga di Thailand, BBM nonsubsidi ini dipatok dengan harga Rp 20.300/liter, di Filipina Rp 18.900/liter, di Vietnam Rp 19.000/liter, Laos yang memasang harga Rp 18.000/liter, serta Kamboja dan Myanmar dengan harga Rp 16.600/liter.
Tulus menambahkan kenaikkan harga pertamax ini dinilai wajar, sebab harga yang saat ini diterapkan bukanlah harga yang sesuai dengan keekonomiannya. Dalam artian pemerintah dan Pertamina selama ini kerap mensubsidi selisih harga tersebut.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian ESDM, harga keekonomian BBM jenis Pertamax ini adalah Rp 14.526/liter. Sementara itu, harga eksisting BBM jenis pertamax di pasaran hanya Rp9.000/liter. Jadi ada selisih yang sangat lebar, yakni Rp5.526/liter.
Bahkan pada awal April 2022 Kementerian ESDM memprediksi harga keekonomian bisa mencapai Rp 16.000/liter.
Lebih-lebih, konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina telah berdampak kepada peningkatan harga komoditas, tak terkecuali harga minyak mentah dunia. Bahkan, posisi terakhir minyak mentah telah mencapai US$130/barel, padahal asumsi APBN hanya di US$65/barel.
Artinya, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan harga Pertamax untuk meringankan beban keuangan Pertamina. Atau, memberikan subsidi berupa insentif bagi Pertamina lewat APBN.
“Opsi (pemberian insentif) ini boleh saja, dengan asumsi pemerintah punya fresh money untuk langsung memasok dana subsidi/insentif tersebut kepada Pertamina,” ucapnya.
Namun, jika opsi yang diambil pemerintah adalah memberikan subsidi atau insentif bagi Pertamina, maka harus dipastikan bahwa dana tersebut digelontorkan secara pasti agar tidak menambah beban cashflow perusahaan pelat merah tersebut.
Sebab, berdasarkan klaim Serikat Pekerja Pertamina Indonesia (SPPI) pemerintah juga memiliki utang yang belum dibayarkan kepada perusahaan senilai Rp100 triliun. Sehingga, jika insentif ini telat diberikan akan menambah beban perusahaan.
“Jika ujung-ujungnya dana subsidi/insentif itu tidak jelas kapan digelontorkan pada Pertamina, tentu sangat berat bagi cash flow Pertamina,” tuturnya.
Sebelumnya, Komisi VI DPR setuju pemerintah melalui Pertamina menyesuaikan harga BBM nonsubsidi. Hal ini tertuang dalam poin kesimpulan RDP Komisi VI DPR dengan PT Pertamina pada Senin, (28/3/2022).
“Komisi VI DPR RI mendukung penyesuaian harga BBM nonsubsidi yang mengikuti harga keekonomian minyak dunia untuk menjamin kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero) dalam menjalankan penugasan pemerintah,” tulis kesimpulan dalam RDP tersebut.
Beberapa waktu lalu, Pertamina juga telah melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi untuk Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex, pada awal Maret 2022. Hanya BBM nonsubsidi Pertamax yang belum naik hingga saat ini dan dijual Rp 9.000 per liter.
Pada RDP, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, meminta dukungan DPR untuk adanya penyesuaian harga BBM.
Nicke menjelaskan, Pertamina sejauh ini melakukan penyesuaian harga untuk beberapa jenis BBM nonsubsidi, diantaranya Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex yang secara volume hanya 2% dari total penjualan BBM Pertamina.
“Even Pertamax itu digunakan untuk mobil bagus, jadi sudah sewajarnya dinaikkan karena ini bukan untuk masyarakat miskin,” tutup Nicke.
Penulis: Nanda Aria
Editor Rahmat Fitranto