32.6 C
Jakarta
Rabu, 8 Oktober, 2025

AFPI Dukung OJK agar Kejadian Investree Tidak Terulang

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengapresiasi kinerja aparatur penegak hukum membawa pulang mantan Direktur Utama PT Investree Radhika Jaya, Adrian Gunadi ke Indonesia untuk menjalani proses hukum. Langkah ini menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri financial technology (Fintech).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian, berhasil memulangkan Adrian Gunadi ke Indonesia. Selanjutnya, Adrian harus menjalani proses hukum terkait dugaan fraud di Investree senilai Rp 2,7 triliun.

Menyoal ini, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S Djafar mendukung langkah hukum yang dilakukan OJK dalam menangani kasus tersebut.

“Kami mengapresiasi OJK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia), Kementerian Luar Negeri, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dan seluruh otoritas terkait atas upaya penanganan hukum terhadap Adrian,” tutur Entjik belum lama ini.

Entjik menyampaikan, koordinasi lintas lembaga itu mencerminkan komitmen kuat Pemerintah dalam memastikan kepastian hukum dan menjaga integritas Industri Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi (LPBBTI) atau pindar (pinjaman daring) di Indonesia.

Menurut Enjik, penegakan hukum yang konsisten akan semakin memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap industri pindar.

Karena itu, AFPI mendukung sepenuhnya langkah-langkah hukum yang dilakukan OJK dan aparat penegak hukum.

“Kami siap bekerja sama apabila dibutuhkan,” tegas Entjik.

Dia menegaskan, AFPI konsisten mendorong agar seluruh anggota asosiasi menerapkan prinsip tata kelola yang baik, transparan, memberikan perlindungan konsumen, dan mematuhi seluruh regulasi.

Pihaknya juga berkomitmen untuk terus membangun ekosistem industri yang sehat, berintegritas, dan berkelanjutan, sehingga layanan keuangan digital dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Terpisah, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda pun mengapresiasi langkah penegak hukum yang terus bekerja sama dengan regulator, seperti OJK.

“Ini bentuk nyata dukungan dan peran regulator terhadap korban dugaan fraud tersebut,” ucap Nailul kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Nailul menuturkan, permasalahan gagal bayar yang muncul sejak beberapa tahun terakhir, menjadi penyakit yang menggerogoti pionir fintech Peer to Peer (P2P) lending, yakni Investree.

Nailul melihat, Investree mengalami hal tersebut lantaran tata kelola yang tidak profesional.

“Pengelolaan harus dipegang orang yang profesional, sehingga berorientasi pada kinerja perusahaan,” tegas dia.

Sebagai informasi, masalah Investree mulai muncul sejak dua tahun lalu, karena membukukan lonjakan kredit macet.

Selain itu, hingga 12 Januari 2024, Investree memiliki rasio tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) 12,58 persen, melebihi ambang batas yang ditetapkan OJK sebesar 5 persen.

Namun Nailul berkeyakinan, apa yang menimpa Investree harusnya tidak serta merta membuat masa depan industri fintech lendingsuram. Justru menjadi pelajaran untuk memperbaiki tata kelola dan profesionalisme di industri tersebut.

“Industri fintech masih bisa tumbuh positif, tercermin dari peningkatan pendanaan yang dilihat masih bagus,” yakin Nailul.

Berdasarkan data OJK per Juli 2025, terdapat 96 pinjol legal OJK dengan outstanding pembiayaan senilai Rp 84,66 triliun. Nilai pinjaman ini naik 22,01 persen secara tahunan (year on year/ yoy), sedangkan pada Juni 2025 tumbuh 25,05 persen yoy.

Meskipun penyaluran kredit pinjol tumbuh di atas 20 persen, tingkat risiko kredit secara agregat (TWP90) dilaporkan masih di bawah batas 5 persen, yaitu 2,75 persen. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,85 persen.

“Tumbuh dua digit bukan kinerja yang buruk bagi suatu industri keuangan. Saya juga masih melihat positif dalam beberapa tahun ke depan,” yakinnya.

Sebelumnya, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK M Ismail Riyadi mengatakan, Adrian dijerat Pasal 46 jo Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 305 ayat (1) jo Pasal 237 huruf (a) UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang PPSK jo Pasal 55 KUHP, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun.

Ismail menyebut, selama penyidikan, Adrian disebut tidak kooperatif dan diketahui berada di Doha, Qatar.

Lalu, imbuh Ismail, OJK bersama Polri menerbitkan DPO (Daftar Pencarian Orang) dan Red Notice pada 14 November 2024.

“Serta mengupayakan ekstradisi melalui koordinasi lintas kementerian dan dukungan penuh KBRI di Qatar,” jelas Ismail di Jakarta, Sabtu (27/9/2025).

Ismail memastikan, OJK juga terus berkoordinasi dengan Kepolisian terkait laporan para korban yang masuk ke kepolisian.

“Sinergi antar-lembaga menjadi bukti komitmen memperkuat penegakan hukum di sektor jasa keuangan,” tutup Ismail.

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU