JAKARTA — Banyaknya anak muda yang terjerat pinjaman online (pinjol) dinilai lebih disebabkan oleh gaya hidup konsumtif ketimbang kebutuhan mendesak. Hal ini disampaikan Ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Prof. Rachma Gafmi.
Menurut Prof. Rachma, banyak generasi muda tergoda kemudahan akses pinjol untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup seperti belanja daring, nongkrong, hingga berwisata, tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar.
โMereka belum punya kesadaran finansial yang cukup. Akhirnya, pinjaman dijadikan solusi instan yang justru menjerat. Gaya hidup hedonisme banyak dianut dan menuntut mereka bisa memenuhi keinginan itu, akhirnya ya pinjol jadi solusi padahal ini merugikan,โ jelasnya, seperti dikutip dari RRI, Rabu (2 Juli 2025).
Ia menilai literasi keuangan menjadi kunci utama dalam mengatasi persoalan ini. Pemahaman literasi keuangan akan membantu anak muda mengenali risiko dan konsekuensi jangka panjang dari utang, terutama melalui pinjol yang umumnya berbunga tinggi.
โPendidikan finansial harus dimulai sejak dini, tidak hanya di sekolah tetapi juga di dalam keluarga. Peran orang tua sangat besar dalam menanamkan pola pikir keuangan yang sehat,โ tegasnya.
Prof. Rachma juga mendorong adanya pembatasan usia dalam mengakses layanan pinjol. Menurutnya, pembatasan tersebut penting untuk melindungi anak muda yang belum memiliki penghasilan tetap maupun pemahaman finansial yang memadai.
โUsia minimal 21 tahun atau syarat memiliki penghasilan tetap bisa jadi pertimbangan untuk menjaga anak-anak muda dari jebakan pinjol. Kita tidak anti teknologi finansial. Tapi penting untuk memastikan penggunaannya bijak, terutama oleh generasi muda yang sedang dalam masa pembentukan karakter dan pengelolaan diri,โ tambahnya.
Aturan Pinjol Menetapkan Batas Usia
Senada dengan itu, anggota Komisi XI DPR RI Prof. Eric Hermawan menyampaikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejauh ini telah menerapkan aturan pembatasan usia bagi anak muda yang dapat mengakses pinjaman.
โAturannya sudah ada. Namun tetap perlu kehati-hatian dalam praktiknya, terutama oleh generasi muda,โ ujarnya.
Prof. Eric mencontohkan, digitalisasi memang mempermudah anak muda mendapatkan dana talangan, misalnya untuk biaya pendidikan atau modal usaha. Bahkan beberapa universitas telah mengizinkan mahasiswa menggunakan pinjol untuk kebutuhan kuliah.
โTapi harus jelas dan benar tujuannya. Kalau memang tidak memiliki kemampuan untuk membayar atau memenuhi tanggung jawabnya, lebih baik tidak usah mengakses pinjol,โ Ia menegaskan.
Ia menambahkan bahwa regulasi dari OJK sudah cukup jelas dan harus dipatuhi. โGenerasi muda diharapkan lebih bijak dan tidak memaksakan diri demi keperluan yang tidak mendesak,โ katanya.
Data OJK mencatat, hingga Juli 2023, kelompok usia 19โ34 tahun menjadi peminjam terbesar dengan nilai pinjaman mencapai Rp26,9 triliun atau 57 persen dari total pinjaman nasional. Ironisnya, kelompok ini juga mencatat kredit macet tertinggi, yakni Rp763,7 miliar atau 44,14 persen dari total tunggakan pinjol nasional.
Fakta tersebut menjadi peringatan bahwa generasi muda sangat rentan terhadap penyalahgunaan layanan keuangan digital. Karena itu, Prof. Rachma dan Prof. Eric menekankan pentingnya kombinasi antara literasi keuangan, regulasi, dan kedewasaan dalam bersikap sebagai bentuk perlindungan terhadap generasi muda.