26.5 C
Jakarta
Senin, 9 Desember, 2024

Apa Itu Crypto Winter? Simak Perbandingan Crypto Winter 2018 dan 2022

JAKARTA, duniafintech.com – Apa itu crypto winter? Istilah yang satu ini belakangan memang semakin sering terdengar serta menarik perhatian.

Istilah itu pun agaknya masih terasa asing di telinga sebagian besar orang. Namun, di komunitas kripto sendiri, istilah ini memang sering kali muncul.

Menukil laman CNBC, istilah yang satu ini menjadi ungkapan yang mengacu pada saat pasar tengah lesu, utamanya di pasar uang digital.

Untuk mengetahui lebih jauh soal istilah yang satu ini, simak ulasan berikut ini.

Baca juga: Cara Investasi Crypto Jangka Panjang bagi Investor

Apa Itu Crypto Winter?

Menukil berita Forbes, istilah “crypto winter” ini kemungkinan berasal dari serial hit HBO, “Game of Thrones.”

Dalam pertunjukan itu, moto House of Stark adalah “Winter is coming.” Hal itu pun dianggap sebagai peringatan bahwa konflik abadi bisa turun di tanah Westeros kapan saja.

Demikian pula, masalah yang berkepanjangan mungkin terjadi di pasar crypto. Selama masa sulit ini, investor harus tetap waspada dan bersiap menghadapi kekacauan yang melanda pasar tanpa banyak peringatan.

Secara lebih harfiah, musim dingin kripto merupakan saat harga kripto terkontraksi dan tetap rendah untuk waktu yang lama. Para analis pun percaya bahwa roda musim dingin kripto yang muncul sudah bergerak lebih awal pada tahun 2022.

“Pasar crypto sudah merasakan efek dari peristiwa dunia, terutama konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan gejolak dalam keuangan global,” ucap CEO DBX Digital Ecosystem, Igor Zakharov.

Ia mencatat, inflasi yang tinggi sudah mendorong kenaikan suku bunga di AS, yang merupakan pemain terbesar dalam crypto.

“Pada saat TerraUSD dan Luna runtuh dan menggerakkan efek domino di dunia kripto, musim dingin kripto telah dimulai,” tuturnya.

Sejak November 2021, pasar crypto telah turun 60% atau turun drastis dari US$ 3 triliun menjadi kurang dari US$ 1 triliun saat ini.

Penyebab Apa Itu Crypto Winter 2022 Lebih Parah daripada 2018

  1. Perbedaan Crypto Winter 2018 dengan 2022

Mengutip CNBCIndonesia.com, beranjak kembali ke 2018 lalu, Bitcoin dan token lainnya merosot tajam setelah kenaikan tajam pada tahun 2017.

Hal itu mirip dengan yang terjadi dengan tahun 2022 lalu. Lantas, pasar pun dibanjiri oleh penawaran koin awal (initial coin offering/ICO).

Dalam hal ini, orang dengan rela menuangkan uangnya ke dalam aset kripto yang muncul di kiri, kanan dan tengah, tetapi sebagian besar proyek itu pada akhirnya gagal.

“Crash kripto di 2017 sebagian besar disebabkan oleh bubble yang sudah pecah,” ucap direktur riset di perusahaan data kripto Kaiko, Clara Medalie, kepada CNBC International.

Akan tetapi, crash kripto pada 2022 lebih kompleks dibandingkan pada tahun 2017 sebab pasar kripto diketahui telah mulai membentuk tren penurunan sejak awal tahun.

Penyebabnya adalah karena investor telah memprediksi bahwa tahun 2022 sebagai tahun yang cenderung sulit bagi pasar kripto lantaran faktor ekonomi makro yang cenderung memburuk.

Adapun inflasi yang terus meninggi dan menyebabkan bank sentral Amerika Serikat (S), Federal Reserve (The Fed) dan bank sentral lainnya secara agresif menaikkan suku bunga. Faktor-faktor ini tidak terjadi pada crash kripto 2017-2018.

Bitcoin dan cryptocurrency lainnya kian berkorelasi erat dengan aset berisiko lainnya, terutama saham.

Diketahui, Bitcoin membukukan kuartal terburuknya dalam lebih dari satu dekade pada kuartal kedua tahun ini. Pada periode yang sama, Nasdaq yang sarat teknologi turun lebih dari 22%.

Pembalikan pasar kripto yang tajam itu membuat banyak investor besar di industri kripto mulai mengalami masa-masa sulit akibat lesunya kripto.

Puncaknya, yaitu pada pertengahan bulan lalu, investor besar yang secara mayoritas terdiri atas perusahaan dana lindung nilai (hedging)hingga perusahaan pemberi pun akhirnya terkena krisis likuiditas.

“Perbedaan lainnya adalah tidak ada pemain besar Wall Street yang menggunakan “posisi yang sangat berpengaruh” pada tahun 2017 dan 2018,” ucap  profesor keuangan di Universitas Sussex, Carol Alexander.

  1. Kehancuran Token Terra

Adapun awal dari kejatuhan kripto tahun ini berasal dari Terra, dengan dua token Terra terpantau ambruk.

Bahkan, stablecoin satu-satunya di ekosistem Terra, yaitu TerraUSD gagal mempertahankan pasaknya di US$ 1.

TerraUSD atau UST merupakan stablecoin algoritma yang seharusnya dipatok dengan rasio 1:1 dengan dolar AS.

Itu bekerja melalui mekanisme kompleks yang diatur oleh suatu algoritma. Tapi UST kehilangan pasak dolarnya yang menyebabkan sister-coin-nya yakni Terra Luna ikut ambruk.

Hal tersebut tidak hanya mengirimkan gelombang kejut melalui industri kripto, tetapi juga punya efek knock-on pada perusahaan yang terpapar UST, utamanya hedge fund Three Arrows Capital atau 3AC.

“Runtuhnya blockchain Terra dan stablecoin UST secara luas tidak terduga setelah periode pertumbuhan yang luar biasa,” jelas Medalie.

  1. Daya Tarik dari Leverage-nya

Investor kripto membangun leverage dalam jumlah besar berkat munculnya skema pinjaman terpusat dan apa yang disebut keuangan terdesentralisasi (decentralized finance/DeFi), istilah umum untuk produk keuangan yang dikembangkan di blockchain.

Akan tetapi, sifat leverage berbeda dalam siklus tahun ini dibandingkan dengan tahun 2017.

Pada tahun 2017, leverage sebagian besar diberikan kepada investor ritel melalui derivatif pada pertukaran cryptocurrency.

Saat pasar crypto menurun di 2018, posisi yang dibuka oleh investor ritel secara otomatis dilikuidasi di bursa karena mereka tidak dapat memenuhi margin call, yang dapat memperburuk penjualan.

Sebaliknya, leverage yang menyebabkan penjualan paksa pada kuartal II-2022 telah diberikan kepada dana kripto dan lembaga pemberi pinjaman oleh deposan ritel kripto yang berinvestasi dengan orientasi imbal hasil.

“Ada banyak pinjaman tanpa jaminan atau undercollateralized karena risiko kredit dan risiko pihak lawan tidak dinilai dengan kewaspadaan. Ketika harga pasar turun di kuartal II tahun ini, perusahaan pemberi pinjaman dan perusahaan kripto lainnya terpaksa melakukan force sell karena banyak yang tidak memenuhi margin call-nya,” ucap CEO perusahaan perdagangan kuantitatif, Cambrian Asset Management, Martin Green, dikutip dari CNBC International.

Margin call merupakan sebuah istilah yang terjadi saat broker akan memberitahukan pemegang posisi untuk melakukan penambahan modal atas dasar transaksi margin.

Hal yang mengerikan akan terjadi jika sang pemegang posisi tidak mampu membayar margin call tersebut.

Kalau tidak mampu menyetorkan dana dalam kurun waktu tertentu maka sang broker akan melakukan penutupan terhadap seluruh posisi yang dimiliki oleh perseroan baik melakukan penjualan pada posisi long (forced sell) maupun pembelian pada posisi short.

Baca juga: Apa Itu Crypto Winter yang Terjadi Tahun 2022, Begini Kondisinya

  1. High Yield, High Risk

Inti dari gejolak baru-baru ini dalam aset kripto, yaitu banyak perusahaan kripto yang menjanjikan return kepada investornya, termasuk investor ritel, agar mereka dengan mudah masuk dan berinvestasi di perusahaan tersebut.

Misalnya Celsius Network, perusahaan lending kripto itu menjanjikan imbal hasil lebih dari 18% kalau investor menyimpan kripto mereka di Celsius.

Akan tetapi, pada pertengahan bulan lalu, Celsius mengumumkan untuk menangguhkan layanan penarikan dana oleh nasabah.

Celsius layaknya bank konvensional, di mana mereka beroperasi dengan menghimpun dana dari para investor, lalu dana dari investor itu bisa digunakan untuk memberi pinjaman ke pemain lain, tentunya dengan imbal hasil yang cukup tinggi.

Para pemain lain tersebut akan menggunakannya untuk trading dan keuntungan Celsius yang dihasilkan dari transaksi itu akan digunakan untuk membayar kembali investor yang menyetor kripto.

Namun, ketika krisis melanda, model bisnis ini diuji. Celsius terus menghadapi masalah likuiditas dan harus menghentikan penarikan dana dengan alasan ‘kondisi pasar yang ekstrem’.

“Pemain yang mencari imbal hasil tinggi menukar uang fiat dengan kripto menggunakan platform pinjaman sebagai penjaga, dan kemudian platform tersebut menggunakan dana yang mereka kumpulkan untuk melakukan investasi yang sangat berisiko, hal ini yang menjadi pemicu kejatuhan perusahaan kripto tersebut,” jelas Alexander dari Universitas Sussex.

  1. Krisis Three Arrows Capital (3AC)

Satu masalah yang menjadi jelas akhir-akhir ini, yakni seberapa banyak perusahaan kripto mengandalkan pinjaman satu sama lain.

Three Arrows Capital (3AC) adalah perusahaan hedge fund yang berfokus pada kripto. Perusahaan yang berbasis di Singapura itu sudah menjadi salah satu korban terbesar dari kejatuhan pasar kripto.

Mirisnya, 3AC dikabarkan memiliki eksposur Terra Luna sehingga krisis yang dialami oleh 3AC adalah bentuk kesalahan investasinya di masa lalu.

Pada akhir bulan lalu, 3AC resmi dinyatakan gagal bayar (default) oleh salah satu perusahaan peminjaman kripto yakni Voyager Digital.

Akibatnya, 3AC jatuh ke dalam likuidasi dan mengajukan kebangkrutan berdasarkan ‘Chapter 15’ dari Kode Kepailitan di AS.

3AC dikenal dengan perusahaan hedge fund yang memasang taruhan sangat tinggi dan penganut bullish. Tetapi sejak kejatuhan kripto, banyak investor menyorotinya karena 3AC dinilai sudah salah mengambil strategi sedari awal.

“Secara keseluruhan, periode Mei-Juni merupakan periode yang buruk bagi pasar kripto. Kami melihat kehancuran beberapa perusahaan terbesar sebagian besar karena manajemen risiko mereka yang sangat buruk,” Kata Medalie.

 

Tips Menghadapi Musim Dingin Kripto

  1. Jangan berinvestasi lebih daripada kemampuan

Pertama, pastikan hanya berinvestasi dengan dana investasi yang telah kamu persiapkan. Pasalnya, dalam kondisi bullish market sekalipun, investasi tetap memiliki risiko.

Apalagi dalam kondisi crypto winter atau bearish market di mana risiko kegagalan lebih tinggi.

Berinvestasi melebihi batas kemampuanmu hanya akan membuatmu mengalami kesulitan keuangan saat investasi yang kamu lakukan benar-benar mengalami kegagalan.

  1. Berhati-hati memilih proyek crypto

Adapun tingginya minat para investor terhadap crypto menyebabkan banyak penipuan mengatasnamakan proyek crypto.

Maka dari itu, waspadalah ketika memilih proyek yang akan diikuti dan hanya pilih proyek yang menurutmu paling aman.

Kalau kamu merasa belum terlalu yakin maka berinvestasilah dalam jumlah yang sedikit dulu untuk meminimalkan risiko kerugian.

  1. Lakukan penyesuaian portofolio investasi

Bukan masalah kalau kamu merasa takut mengalami kerugian lebih besar sehingga memutuskan untuk menjual aset kripto milikmu.

Atau, kamu merasa aset kripto lain lebih memiliki potensi besar mengalami kenaikan dibanding asetmu saat ini sehingga memilih untuk beralih ke aset lain.

Dalam hal ini, kamu pun dapat menerapkan diversifikasi portofolio investasi untuk membagi risiko di masa musim dingin kripto ini jika tidak mau kehilangan semua aset yang telah dimiliki.

Dengan demikian, kamu bisa menjual sebagian aset yang telah dimiliki untuk membeli aset crypto lain yang kamu percaya dapat bertahan menghadapi musim dingin kripto atau menambah dana investasi lagi untuk membeli aset baru tersebut dengan tetap mempertahankan semua aset lamamu.

  1. DCA (Dollar-Cost Averaging) Strategy

Pada masa musim dingin kripto dan bearish market seperti saat ini, menerapkan DCA strategy dapat menjadi penyelesaian yang tepat.

DCA strategy sendiri berarti melakukan investasi secara reguler pada aset yang sama dengan nominal investasi yang sama juga.

Strategi tersebut dianggap mampu memberimu keuntungan untuk investasi jangka panjang ketika akhirnya memasuki periode bullish market.

Baca juga: Cryptocurrency Hari Ini: Harga Bitcoin Diramal Tetap Cuan Hari Ini

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU