JAKARTA, duniafintech.com – Kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 3,50% ternyata tak cukup mampu mendorong perbankan untuk menurunkan bunga kreditnya. Padahal langkah ini ditempuh BI untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Alih-alih menurunkan bunga kreditnya, bank justru malah lebih senang menurunkan bunga deposito sehingga meningkatkan spread antara suku bunga kredit dan deposito, serta Net Interest Margin (NIM) perbankan.
Menanggapi hal ini, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy berpendapat bahwa apa yang dilakukan bank ini akan memperlambat ekspansi dari dunia usaha dan industri.
Pasalnya, dengan suku bunga kredit yang masih tinggi ini pembiayaan yang ditanggung oleh dunia usaha menjadi lebih mahal.
“Jika mahal, tentu pelaku usaha/industri tentu akan mempertimbangkan jika ingin meminjam kredit dari perbankan, dalam kondisi tertentu mereka akan menunda ekspansi usaha,” katanya kepada Duniafintech.com, Selasa (25/1).
Lebih lanjut dia mengatakan, jika ekspansi usaha ini stagnan maka roda perekonomian akan tersendat. Padahal, pemerintah telah menargetkan bahwa tahun ini menjadi tahun kebangkitan ekonomi setelah dihajar pandemi dalam dua tahun belakangan.
Pemerintah pun telah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 berada di level 5,0% hingga 5,5%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2021 yang di kisaran 3,5% hingga 4,0%.
“Jika dan tentu dalam skala tertentu hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian apalagi jika yang menunda ekspansi usaha para pelaku di industri manufaktur misalnya yang berkontribusi cukup besar dalam perekonomian Indonesia,” tuturnya.
Kendati demikian, Yusuf pun menyadari bahwa terlalu berat jika berharap BI dapat mendorong bank untuk menurunkan suku bunga kreditnya hanya berdasarkan pada kebijakan suku bunga acuan BI.
Dia bilang, jika berkaca dari pengalaman sebelumnya transmisi suku bunga acuan ke suku bunga kredit perbankan memerlukan waktu yang tidak sebentar, biasanya membutuhkan empat sampai enam bulan.Â
Di sisi lain, bank-bank juga masih cenderung menahan penyaluran suku bunga kredit, karena di tengah kondisi sekarang bank juga menghindari naiknya non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah karena penyaluran kredit yang tidak berkualitas.
“Memang agak berat kemudian berharap untuk BI agar bisa mendorong para bank agar mau menurunkan suku bunga acuan, namun berbagai cara alternatif bisa ditempuh BI meski bukan melalui jalur suku bunga kredit langsung,” ucapnya.
Peningkatan GWM Picu Lambatnya Penurunan Bunga Kredit
Menurutnya, salah satu pendorong dari lambannya penurunan bunga kredit perbankan juga terkait dengan kebijakan BI, yang mana akan menaikan secara bertahap indikator giro wajib minimum (GWM) menjadi 5% di Maret, 6% di Juni, dan 6,5% di September.
Langkah ini dilakukan BI sebagai bentuk normalisasi likuiditas untuk memitigasi dampak global dari normalisasi kebijakan negara maju, termasuk kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed.
Yusuf berpandangan, seharusnya BI juga terdorong untuk menurunkan indikator GWM agar bank dapat menurunkan bunga kreditnya lebih rendah. Sebab, dengan penurunan indikator GWM likuiditas perbankan akan lebih banyak dan bank lebih terpicu untuk menyalurkan kredit dengan bunga lebih rendah.
“Harapannya dengan likuiditas yang bertambah di bank umum, mereka terdorong untuk menurunkan suku bunga kredit dan menyalurkan kredit mereka,” tuturnya.
Selain itu, BI sebagai regulator juga dapat mendorong agar bank dapat menyalurkan likuiditasnya supaya target penyaluran kredit tahun ini yang sebesar 6%-8% dapat tercapai dan roda perekonomian bergerak lebih cepat.
Sebagai informasi, suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan masih terpantau tinggi. Bank BCA misalnya, SBDK-nya berada di level 7,95% untuk segmen korporasi, 8,2% untuk segmen ritel, 7,2% untuk KPR dan 5,96% untuk kredit konsumsi non KPR.
Sedangkan, untuk bunga deposito BCA telah memangkas bunganya hingga menjadi 1,9% saja, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebesar 2%.
Hal yang sama juga terlihat di Bank Mandiri, di mana SBDK-nya tercatat sebesar 8,0% untuk segmen korporasi, 8,25% untuk segmen ritel, 11,2% untuk kredit Mikro, 7,25% untuk konsumsi KPR dan 8,75% untuk kredit konsumsi non KPR.
Sedangkan untuk bunga depositonya, Bank Mandiri hanya memberikan rata-rata sebesar 2,5% saja.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra