JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait fintech P2P Lending wajib untuk memiliki asuransi kredit untuk menjaga kepercayaan.
Hal itu diperlukan oleh industri financial technology peer-to-peer (fintech P2P) lending agar mampu memitigasi risiko gagal bayar pinjaman dengan asuransi kredit.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dinukil dari Bisnis.com.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: OJK Soroti Investree, Ada Sanksi jika Ditemukan Pelanggaran
Berita Fintech Indonesia: Untuk Lindungi Lender Ritel
Menurut Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, fintech P2P lending perlu memiliki asuransi kredit, terutama untuk melindungi pemberi pinjaman (lender) ritel.
“Asuransi dalam fintech P2P lending penting untuk melindungi lender, apalagi lender yang sifatnya ritel. Ini karena untuk menjaga trust atau kepercayaan untuk berinvestasi di fintech P2P lending,” ucapnya, dikutip pada Selasa (16/5/2023).
Ia berpandangan, fintech P2P lending wajib memiliki asuransi kredit sebab karena semakin banyak fintech P2P lending yang memiliki asuransi kredit sekaligus membuktikan bahwa ada seleksi yang lebih ketat lagi dari calon borrower, proyek-proyek, maupun kegiatan usaha yang akan didanai.
“Fungsi dari pihak asuransi juga nanti akan melakukan pengawasan yang lebih ketat lagi sehingga jangan sampai terjadinya gagal bayar atau fraud. Jadi penting [fintech P2P memiliki asuransi kredit],” jelasnya.
Dalam amatannya, fintech P2P lending juga harus ada tenggat waktu juga yang diberikan kepada asuransi yang menjamin pembiayaan fintech lending.
“Jangan sampai lebih dari 365 hari kalender, terlalu lama, terlalu panjang, jadi harusnya ada kecepatan yang menjadi standarisasi,” paparnya.
Outstanding Pembiayaan Tumbuh
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan di industri fintech P2P lending tumbuh 36,45 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp51,02 triliun pada Maret 2023.
Sementara itu, tingkat risiko kredit secara agregat (TWP90) tercatat naik menjadi 2,81 persen.
OJK optimis industri P2P lending akan terus bertumbuh pada 2023 dan tahun-tahun berikutnya.
Hal tersebut mengingat bahwa kebutuhan akan pendanaan maupun pembiayaan di Indonesia masih sangat luas dan belum dapat dipenuhi secara keseluruhan oleh lembaga jasa keuangan yang ada.
OJK pun mendorong P2P lending untuk bekerja sama dan saling berkolaborasi dengan sektor perbankan, industri jasa keuangan (IJK) lainnya, maupun non-lembaga jasa keuangan lainnya.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Resmi Berizin OJK, Danamart Siapkan Dana hingga Rp10 M untuk UKM
Berita Fintech Indonesia: AFPI Usulkan Pengaturan Khusus Asuransi Fintech dan Pembatasan Pinjaman per Orang
Sebelumnya dilaporkan, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau AFPI mengajukan adanya pengaturan lebih rinci mengenai asuransi untuk fintech peer to peer atau P2P lending dan pembatasan penggunaan jumlah platform pinjaman bagi satu debitur atau borrower.
Ketua Umum AFPI Adrian Asharyanto Gunadi menjelaskan bahwa saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun rancangan regulasi terkait perkembangan industri P2P lending.
AFPI turut memberikan masukan kepada otoritas agar regulasi baru relevan dengan kebutuhan industri.
Adrian menjelaskan bahwa proteksi pinjam meminjam dengan asuransi menjadi salah satu usulan AFPI yang menjadi pembahasan dengan OJK.
Para pelaku industri melihat bahwa perlu terdapat pengaturan lebih rinci mengenai asuransi dalam kontrak P2P lending.
“Ini menjadi yang salah satu kami usulkan untuk masuk dalam rancangan aturan soal P2P lending. Saya bilang ini supaya transparan di peraturan OJK terkait asuransinya karena menurut saya sekarang belum terjelaskan semua asuransinya seperti bagaimana. Harus dijelaskan secara clear bahwa asuransi itu bukan jaminan lho, ini hanya sebagai proteksi tambahan,” katanya.
Para pelaku industri melihat bahwa penempatan asuransi bukan sebagai jaminan dalam kredit pinjam meminjam untuk mencegah terjadinya moral hazard.
Pemberi pinjaman (lender) dan penerima pinjaman (borrower) bisa saja menyepakati terjadinya gagal bayar karena akan terdapat asuransi yang menanggung risiko itu.
Maka dari itu, imbuhnya, sejauh ini asuransi berperan sebagai proteksi apabila jaminan tidak bisa memenuhi kewajiban borrower kepada lender.
Klaim asuransi baru bisa diajukan jika jaminan sudah diproses dan tidak terdapat putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
AFPI juga menyampaikan usulan pembahasan mekanisme perlindungan selain asuransi, seperti dalam bentuk tambahan pencadangan di perusahaan.
Namun, menurut Adrian, usulan itu dapat menimbulkan polemik karena adanya aturan bahwa perusahaan P2P lending tidak boleh menjadi penjamin.
“Kami harus memikirkan bagaimana bentuk pencadangannya dan bagaimana memperjelas dengan aturan OJK. Makanya dari asosiasi mengusulkan dan akan melihat best practice dari negara lain bagaimana, lalu kira-kira solusi apa yang bisa kita perkuat lagi dalam rancangan aturan yang baru,” jelasnya.
Kemudian, asosiasi mengusulkan penetapan batasan jumlah platform dari satu debitur. AFPI berpandangan bahwa usulan itu dapat mencegah satu borrower meminjam ke banyak platform karena berisiko meningkatkan non performing loan (NPL) atau terjadi “gali lubang tutup lubang”.
“Setidaknya [diatur] di awal, supaya jangan sampai ini dimanfaatkan oleh borrower yang tidak bertanggung jawab. Risikonya di lender juga kan. Kita batasi dulu saja sementara supaya risiko gagal bayarnya bisa kita antisipasi, kalau memang niatnya sudah enggak baik, mendingan kita cut saja,” tandasnya.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Kredit Macet Membayangi Industri Fintech Lending, OJK Ungkap Penyebabnya
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com