JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait tantangan yang akan dihadapi bisnis financial technology (fintech) di Indonesia.
Hal itu terjadi di balik potensi besar industri fintech untuk terus bertumbuh. Menurut Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), sejumlah tantangan itu, antara lain, literasi digital hingga ancaman serangan siber.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dilangsir dari Bisnis.com, Kamis (22/6/2023).
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: CIPS: Ketentuan Modal Fintech Jangan Memunculkan Dominasi Pasar
Berita Fintech Indonesia: Sejalan dengan Berkembangnya Ekonomi Digital
Menurut Director of Marketing, Communication & Community Development Aftech, Abynprima Rizki, besarnya potensi pertumbuhan industri fintech sejalan dengan terus berkembangnya ekonomi digital di Indonesia.
Berdasarkan data Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital di Indonesia telah mencapai US$220 miliar.
Kemudian, pada 2030 diperkirakan akan tumbuh hingga mencapai US$390 miliar. Apalagi, jumlah masyarakat yang belum terhubung dengan layanan perbankan atau unbanked masih banyak.
Pada tahun 2021, Bank Indonesia (BI) mencatat sebanyak 28 juta penduduk Indonesia masuk kategori unbanked.
Layanan keuangan digital di Indonesia pun terus berkembang. Aftech mencatat, hingga saat ini, terdapat 25 model bisnis keuangan digital yang terdaftar.
“Potensi ekonomi digital besar, namun tantangannya juga banyak,” ucapnya dalam konferensi pers Open Finance Summit 2023, Rabu (21/6/2023), di Jakarta.
Salah satu tantangan bagi fintech adalah literasi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan di Indonesia memang telah mencapai 85,10 persen.
Akan tetapi, indeks literasi keuangan diketahui masih sebesar 49,68 persen.
“Artinya, ada gap atau kesenjangan antara inklusi keuangan dan literasinya. Ini jadi PR bersama,” ujarnya.
Lebih jauh, tantangan lainnya adalah ancaman serangan siber. Sebagaimana diketahui, sektor jasa keuangan termasuk fintech memang rawan terkena serangan siber.
Berdasarkan data dari Checkpoint Research 2022, sektor jasa keuangan mendapatkan 1.131 kali serangan siber setiap pekannya.
Sementara itu, data International Monetary Fund (IMF) pada 2020 menyebutkan total kerugian rata-rata tahunan akibat serangan siber di sektor jasa keuangan secara global mencapai sekitar US$100 miliar.
Untuk itu, asosiasi pun menjalankan sejumlah upaya agar tantangan tersebut bisa dihadapi.
“Kami terus menjaga digital trust di fintech. Kami juga dorong agar anggota terus menjaga tata kelolanya dan penuhi mandatori. Semua standardisasi kita perhatikan,” ujarnya.
Terdapat juga dewan etik yang melihat market conduct seluruh industri fintech di Indonesia.
“Kami juga mendorong sinergi kolaborasi dalam literasi keuangan digital, tidak hanya pelaku industri, tapi juga ke masyarakat,” ujarnya.
Berita Fintech Indonesia: CIPS: Ketentuan Modal Fintech Jangan Memunculkan Dominasi Pasar
Sebelumnya, dinukil dari wartaekonomi.co.id, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai bahwa ketentuan permodalan industri financial technology lending (fintech lending) yang mampu menyebabkan terjadinya merger antara perusahaan fintech jangan sampai memunculkan dominasi pasar.
Adapun dominasi pasar oleh satu-dua perusahaan akan menghilangkan kompetisi sehat dalam pasar fintech yang bertujuan untuk mewujudkan inklusi keuangan.
Seperti diketahui, untuk memenuhi ketentuan permodalan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan fintech lending dapat melakukan konsolidasi atas aset mereka hingga mencapai batas minimum yang ditetapkan OJK.
“Peningkatan compliance ketentuan permodalan dan ekuitas untuk fintech dalam rangka proteksi konsumen merupakan langkah pemerintah yang tepat. Namun, jika adanya merger nanti antara perusahaan fintech lending untuk memenuhi persyaratan perlu diawasi dan diatur agar kompetisi pasar tetap sehat dan mencegah dominasi pangsa pasar oleh sejumlah pemain,” kata Peneliti CIPS, Amira Husna Natanegara.
Ia menilai, kompetisi yang sehat antara perusahaan fintech perlu dijaga agar perusahaan terus berinovasi dan diversifikasi target segmen dalam mencapai inklusi keuangan.
Pasalnya, fintech lending adalah solusi untuk banyak peminjam yang membutuhkan dana cepat dan accessible, terutama untuk kalangan unbanked dan underbanked.
“Dari sisi pemain fintech juga perlu menjamin bahwa merger tidak hanya semata pemenuhan persyaratan, tetapi mereka harus memastikan layanannya membawa manfaat dari merger kepada nasabah seperti diversifikasi produk, efisiensi dalam operasi bisnis, dan perbaikan dalam proses dan sistem pinjam-meminjam,” tuturnya.
Adapun upaya untuk mencegah terjadinya gagal bayar juga termasuk ke dalam perlindungan konsumen.
Idealnya, fintech lending memberikan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai produk dan profil risikonya kepada konsumen dan memastikan mereka memahami produk yang mereka gunakan.
Baca juga: Berita Fintech Hari Ini: Ketua MPR Minta OJK Garap Pembentukan Bursa Kripto
Perlu Pedoman yang Lebih Jelas
Penelitian CIPS merekomendasikan perlunya pedoman yang lebih jelas bagi konsumen tentang bagaimana dan ke mana mengajukan pengaduan untuk setiap jenis masalah terkait dengan transaksi P2P lending.
Pedoman tersebut sangat diperlukan karena tidak semua konsumen mengetahui jenis pelanggaran apa yang harus diajukan ke OJK (penagihan utang secara agresif, legalitas pemberi pinjaman) atau ke polisi (dalam kasus ancaman, penganiayaan atau pelecehan).
Sebagaimana diketahui, dalam rangka compliance atau kepatuhan, OJK dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang ketentuan persyaratan permodalan dan ekuitas minimum, telah mengatur bahwa penyelenggara harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25 miliar; dan Penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar, penggabungan perusahaan fintech atau merger antara dua atau lebih dari dua perusahaan dapat menjadi solusi dari pemenuhan persyaratan tersebut.
Ketentuan permodalan akan diberlakukan secara bertahap yang dimulai pada 4 Juli 2023 dengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar.
Kemudian, pada tahun selanjutnya, persyaratan modal minimum perusahaan fintech menjadi Rp 7,5 miliar dan seterusnya hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Amartha Terima Suntikan Modal Rp1,49 Triliun dari Investor AS
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com