Sejak adanya serangan teroris di Paris pada tanggal 13 November 2016 lalu, Uni Eropa mencari cara untuk mempelajari dan membatasi penggunaan Bitcoin dengan harapan dapat mencegah adanya aksi pendanaan teroris menggunakan mata uang digital tersebut.
Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, para regulator menyadari bahwa yang dibutuhkan bukanlah regulasi ketat yang mengatur Bitcoin, melainkan penyebaran edukasi terkait Bitcoin dalam tingkat yang lebih besar.
“Tidak ada yang salah dengan Bitcoin. Bitcoin hanyalah bagian baru dari sistem finansial kita,” ucap Dana Syracuse, Direktur dan anggota dari Anti-Money Laundering (AML) and Regulatory Compliance Practice di K2 Intelligence.
K2 Intelligence adalah sebuah perusahaan yang menyediakan jasa investigasi dan perlindungan dalam dunia maya. Sebelum bergabung kedalam K2 Intelligence, Syracuse pernah bekerja di Departemen Jasa Keuangan New York dan merupakan pencipta BitLicense.
“Seiring berjalannya waktu, Bitcoin akan berkembang semakin besar,” kata Syracuse. “Salah satu hal yang sering saya bicarakan adalah fakta dimana ketika Bitcoin semakin diikat oleh peraturan yang ketat, yang terjadi justru Bitcoin semakin berkembang dan merambah ke area yang sebelumnya tidak terjangkau.”
“Masalah bukan terletak pada Bitcoin, dan pembatasan penggunaan Bitcoin lebih lanjut bukanlah solusi yang baik. Para pelaku tindak kriminal dan terorisme sedang menggunakan berbagai macam teknologi untuk menyembunyikan aktivitas mereka dari dunia Internet. Mereka yang berpaling ke Bitcoin untuk menggunakan teknologi blockchainnya justru adalah orang-orang yang mengambil langkah yang salah,” ujar Jason Weinstein, Direktur dari Blockchain Alliance.
Jennifer Shasky Calvery, Direktur dari Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN), menyampaikan pendapatnya dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi mengenai mata uang digital yang dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman AS. Calvery menjelaskan bahwa Bitcoin sejumlah 4 juta dollar AS sedang ditransaksikan melalui lembaga-lembaga yang teregulasi. Namun diluar lembaga atau perusahaan-perusahaan yang teregulasi itu, terdapat Bitcoin sejumlah 10 juta dollar AS yang ditransaksikan. Dalam acara tersebut, Calvery menegaskan bahwa FinCEN tidak meregulasi Bitcoin. Mereka hanya meregulasi institusi-institusi finansial yang berkaitan dengan Bitcoin.
Perianne Boring, Pendiri dan Direktur utama dari Chamber of Digital Commerce, juga menyatakan pendapat yang serupa. Dalam wawancaranya dengan Bitcoin Magazine, beliau mengatakan:
“Mata uang virtual sebenarnya sudah sangat teregulasi, khususnya di dalam kawasan negara-negara G7 (Group of Seven, yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat). Meskipun regulasi yang ada sangat ketat, sebagian besar transaksi Bitcoin terjadi di luar lembaga-lembaga yang teregulasi, yang secara mayoritas terjadi di negara-negara yang bukan anggota G7.”
“Memperketat peraturan di dalam area G7 hanya akan mempersulit perusahaan-perusahaan mata uang digital yang selama ini sudah berusaha keras untuk mentaati peraturan bank sentral dan regulasi yang ada. Semakin ketat peraturan yang ada terkait Bitcoin, maka semakin besar juga kemungkinan bahwa Bitcoin akan semakin ditransaksikan di lembaga-lembaga yang tidak teregulasi,” ucap Boring.
“Yang diperlukan adalah menciptakan regulasi yang rasional, bijaksana dan konstruktif,” tambah Syracuse. “Ketika Anda meregulasikan sesuatu yang sedang berada di ambang krisis, sering muncul godaan untuk melakukan koreksi yang berlebihan demi melindungi diri Anda. Kita harus berhati-hati agar tidak mengeluarkan regulasi yang berlebihan terkait Bitcoin.”
Masalah bukan terletak dalam hal ada tidaknya regulasi, namun kurangnya edukasi
Pada dasarnya, kurangnya edukasi tentang Bitcoin adalah masalah utama, bukan regulasi. Ketika pihak regulator atau pemerintah memiliki informasi yang cukup tentang Bitcoin, mereka akan melangkah ke kesimpulan yang sama, yaitu: Bitcoin tidaklah bermasalah.
“Saya agak skeptis menanti adanya regulasi baru terkait Bitcoin yang bisa benar-benar membantu,” kata Vincent D’Agostino, Direktur Asosiasi U.S. Cyber Investigations and Incident Response Practice di K2 Intelligence. Sebelum bergabung dengan K2 Intelligence, beliau adalah agen FBI yang terlibat dalam penyidangan kasus Silk Road 1 dan Silk Road 2.
“Jika ada lebih banyak orang dari lembaga penindak aksi terorisme yang mau menghabiskan waktunya untuk mendalami cara kerja teknologi blockchain, ketika mereka mengadakan aksi penggerebekan, hal pertama yang mereka lakukan adalah mengambil data yang ada dan mengindentifikasi public key supaya mereka bisa menelusuri segala sesuatu yang berhubungan dengan alamat Bitcoin itu,” lanjut D’Agostino. “Mereka nanti dapat mengatakan, kita awalnya tidak tahu alamat Bitcoin ini milik siapa, namun kini kami telah mengetahui semua transaksi yang mereka lakukan termasuk siapa pemilik dompet Bitcoin ini.”
“Setiap inovasi finansial, dan setiap bentuk transfer dana yang baru muncul pasti akan membawa tantangan tersendiri,” jelas Syracuse. “Bitcoin pun sama seperti itu. Terrorisme merupakan kekhawatiran pertama di kebanyakan sistem finansial. Penggunaan Bitcoin dalam aktivitas-aktivitas seperti itu tidak jauh berbeda dengan penggunaan mata uang lain atau sistem bank tradisional. Edukasi adalah kuncinya, dan edukasi itulah yang akan memunculkan regulasi yang lebih rasional dan produktif, serta komunikasi yang lebih efisien antar pemerintah.”
Berdasarkan laporan dari Departemen Tresuri Inggris, “Hanya ada sedikit bukti bahwa mata uang digital sedang digunakan para terroris untuk mendanai kegiatan mereka, entah itu untuk alat mengumpulkan dana dari supporter, alat membayar infrastruktur, atau alat pengiriman uang.”
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa, “Risiko penggunaan Bitcoin dalam kegiatan pencucian uang itu sangat rendah, meskipun ada potensi meningkat bila penggunaan mata uang digital di Inggris semakin berkembang luas.”
Rendahnya risiko tersebut dikarenakan adanya ketidakefisienan Bitcoin dalam dijadikan metode pengiriman uang dengan tujuan negatif karena semua transaksinya terlihat jelas di buku besar blockchain yang dapat diakses oleh semua orang.
“Akan jauh lebih mudah bagi Anda untuk melakukan pencucian uang dengan Euro atau dollar AS daripada menggunakan Bitcoin yang didukung oleh teknologi blockchain yang terdesentralisasi,” ujar David Long, Pemimpin dan Konsultan Senior di Northern California Fraud Prevention Solution. “Walaupun dari sisi investigasi, Bitcoin dapat memberikan tantangan ekstra karena butuh lebih banyak usaha untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab atas transaksi yang terjadi. Namun, begitu identitas pelaku terbongkar, blockchain dapat membantu menemukan semua transaksi yang pernah dilakukan oleh pelaku. Kehebatan Bitcoin yang seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Euro ataupun Dollar AS.”
Weinstein kemudian menjelaskan secara lebih lanjut bahwa:
“Laporan-laporan mengenai anonimitas Bitcoin itu sebenarnya terlalu dibesar-besarkan. Para pelaku tindak kriminal atau teroris yang menggunakan Bitcoin untuk memfasilitasi aktivitas mereka justru adalah orang-orang yang bodoh karena Bitcoin dapat dilacak, tidak seperti metode pembayaran lainnya termasuk uang fiat/cash.”
Bitcoin bersifat pseudonymous dalam artian semua transaksi tercatat dalam buku besar, namun hanya dalam bentuk public address saja. Tetapi, ketika pihak kepolisian berhasil mengidentifikasi siapa yang memiliki public address tersebut, mereka dapat menelusuri semua transaksi yang pernah keluar atau masuk ke dalam dompet Bitcoin itu. Jika Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) pernah bertransaksi dalam Bitcoin dan pihak kepolisian berhasil menemukan alamat Bitcoin mereka, maka pihak berwajib dapat melacak semua transaksi yang pernah ISIL lakukan dan dapat mengumpulkan lebih banyak bukti untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Uang cash/fiat, dalam sisi lain, sangat bersifat anonim. Seseorang dari ISIL bisa mengambil se-amplop uang berisi ratusan ribu dollar AS, membawanya melewati batas negara, dan dengan mudahnya membeli segala asset yang dia butuhkan untuk melakukan aksi terorisme. Pihak kepolisian tidak akan memiliki cara untuk memverifikasi dan melacak kemana uang itu ditransaksikan. Long kemudian memberikan contoh bagaimana skema pencucian uang yang dilakukan oleh seorang ahli penipu menggunakan Dollar AS atau Euro bisa menjadi sangat sulit untuk dilacak secara virtual atau bahkan tidak bisa ditelusuri sama sekali.
Yang jadi masalah adalah, kebanyakan orang belum menyadari kemampuan Bitcoin dalam hal tersebut.
“Pihak kepolisian tidak memanfaatkan Bitcoin sebanyak yang seharusnya mereka lakukan,” ujar D’Agostino. “Selama ada orang yang terlibat dalam transaksi Bitcoin, pembuatan dan penggunaan dompet-dompet Bitcoin, serta terlibat dalam pergerakan kode digital itu, kemungkinan besar orang tersebut akan berbuat kesalahan di kemudian hari. Jika orang itu tergabung dalam suatu kelompok atau jaringan terrorisme yang terus memindahkan uang dari satu orang ke orang yang lain, pasti nanti ada salah satu dari mereka yang bertindak ceroboh. Misalnya, mereka lupa untuk mengenkripsi dompet Bitcoin mereka atau meninggalkan key mereka di dompet yang lama. Inilah kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak kepolisian untuk mengeksploitasi informasi tersebut.”
Kuncinya adalah memberi edukasi selengkap mungkin kepada pihak kepolisian dan pihak otoritas keamanan nasional tentang cara kerja teknologi blockchain, agar mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menggunakan Bitcoin untuk melacak kemana uang itu mengalir. Weinstein menegaskan:
“Kita butuh lebih banyak edukasi, bukan regulasi.”
Jerry Brito, Direktur Eksekutif dari Coin Center, menjelaskan dalam blognya alasan mengapa edukasi tentang Bitcoin sangat dibutuhkan:
“Reaksi berlebihan oleh para pembuat kebijakan yang gelisah di tengah krisis ini memang cukup mengkhawatirkan, dan inilah mengapa adanya pendidikan tentang Bitcoin sebelum krisis seperti ini terjadi sangatlah penting. Kami telah bergerak di bidang edukasi Bitcoin selama lebih dari setahun, dan kami berharap para pembuat kebijakan memahami bahwa reaksi yang berlebihan dalam pembuatan regulasi hanya akan bersifat kontraproduktif, tak peduli apapun yang dituliskan oleh media massa.”
Brito mengulang kembali poin-poin yang disampaikan oleh Boring dan Weinstein:
“Faktanya, para regulator kini mengerti bahwa mata uang digital tidak berisiko tinggi untuk digunakan sebagai alat pendanaan aksi terorisme, dan mereka juga paham hanya sampai titik mana mata uang digital ini bisa digunakan untuk aksi kriminal tersebut. Pembatasan penggunaan Bitcoin di wilayah mereka hanya akan menyingkirkan para lembaga yang terlegitimasi. Akhirnya, pemerintah nanti akan semakin kebingungan dalam melacak penggunaan Bitcoin yang ditransaksikan oleh badan-badan yang tidak teregulasi.”
Institusi-institusi finansial yang bergerak di dunia Bitcoin telah mematuhi regulasi yang kerap diaplikasikan ke lembaga-lembaga jasa keuangan pada umumnya. Meskipun pemerintah menetapkan regulasi tambahan kepada institusi finansial Bitcoin, aksi terrorisme tidak akan terhenti disana. Sebaliknya, jika pemerintah memberikan lebih banyak edukasi tentang teknologi blockchain dan Bitcoin kepada pihak kepolisian, mereka justru akan bisa memanfaatkan blockchain untuk melacak dan menangkap para teroris tersebut.