JAKARTA, duniafintech.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sepanjang 2021 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbuh 10,08%, atau berada di level 6.581,48 secara year to date (ytd). Kapitalisasi pasar saham mencapai Rp8.256 triliun atau naik 18,45% dibandingkan posisi akhir tahun 2020 yakni Rp6.970 triliun.
Menurut Perencana Keuangan Senior Aidil Akbar Madjid kinerja IHSG tersebut masih kurang bergairah dibandingkan dengan aset kripto atau cryptocurrency. Pasalnya, pertumbuhan IHSG hanya mampu meningkat sekitar 600 dari pembukaan perdagangan awal tahun 2021 di level 5.921.
“Jadi saham ya begitu, kalau diperhatikan saham 5-7 tahun terakhir emang sudah gerakannya gitu, lambat, dan enggak terlalu signifikan dan bergairah, kalau kita bicara IHSG ya,” katanya kepada Duniafintech.com, Selasa (4/1).
Dia pun menuturkan, kelesuan yang sama agaknya juga tercermin dari saham-saham emiten yang tergabung dalam saham blue chip atau LQ45. “Kalau IHSG merepresentasikan saham-saham blue chip maka kurang lebih hampir sama lah gerakan saham blue chip,” ujarnya.
Mendapatkan Momentum di 2021
Dia menjelaskan, geliat kripto sedikit berbeda dengan saham. Ketika saham mulai bergerak lambat dan kurang bergairah sejak pandemi Covid-19, aset kripto justru mendapatkan momentumnya di dalam negeri, bahkan seluruh dunia.
Aset-aset kripto tumbuh signifikan sepanjang 2021. Bitcoin (BTC) misalnya, pada awal Januari dibuka di harga Rp404,64 juta/koin dan di Desember 2021 harganya melonjak menjadi Rp661,08 juta/koin, dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp12.595 triliun jauh melampaui pasar saham.
Bahkan Bitcoin sempat menyentuh harga tertinggi sepanjang masa atau all time high (ATH) di harga Rp662 juta/koin di November 2021.
Hal yang sama juga terjadi di koin Ethereum (ETH), di mana pada awal Januari dibuka di harga Rp10,3 juta/koin, namun di 30 Desember 2021 harganya menjadi Rp51,6 juta/koin, dengan harga tertinggi mencapai Rp70 juta/koin. Kapitalisasi pasarnya pun mencapai Rp6.428 triliun.
Pertumbuhan aset kripto di tahun 2021 ini, lanjutnya, didorong oleh tren investasi masyarakat selama pandemi Covid-19. Menurutnya, semua bermula ketika banyak masyarakat yang merasa tertipu saat masuk ke bursa saham oleh tukang pompom, atau tukang ‘goreng’ saham.
“Investor pemula atau milenial yang tak tahu apa-apa ikut-ikutan main saham, masuk ke grup-grup di sana mereka lupa bahwa di grup banyak tukang tipu atau tukang pom pom-nya, masuklah mereka ke jebakan itu. Apalagi di 2020 akhir awal 2021 mulai tuh artis-artis kepompom, mulai kena,” ujarnya.
Nah, kelompok yang mulai mengenal investasi saham inilah kemudian mencari tahu lebih jauh perihal investasi dan risikonya, hingga kemudian mereka menemukan satu produk investasi yang lebih mendatangkan cuan, namun dengan volatilitas yang jauh lebih tinggi dan lebih berisiko pula: aset kripto.
“Berbondong-bondong lah mereka ke kripto di saat bersamaan kripto membaik di 2020 pasca crash 2018 dan di 2021 kripto dapat panggung, ditambah lagi Elon Musk ikutan ngepompom dan ngomongin kripto, popularitasnya jadi naik,” ucapnya.
Metaverse Bikin Kripto Jadi Aset Masa Depan
Meskipun tidak dapat dibandingkan secara setara, namun menurut Aidil aset kripto secara pasar jauh lebih bergairah dan potensial mendatangkan cuan bagi investornya. Namun, risikonya juga jauh lebih besar dibandingkan dengan saham.
Dia menjelaskan, jika berinvestasi di saham, orang membeli kepemilikan di perusahaan lewat saham-saham yang dilepas ke publik dan kinerjanya dapat dipantau dan diawasi melalui laporan keuangan perusahaan.
Sedangkan, di kripto yang dilihat adalah projek dari masing-masing koin dan buku putih atau white paper pengembangan koin tersebut di dalam ekosistem digital. Apalagi berbagai perusahaan tengah mendorong lahirnya dunia virtual seperti Metaverse dan produk-produk Non Fungible Token (NFT).
“Jadi kalau bicara potensi ya besar, tapi disaat bersamaan risikonya sama besarnya dengan potensinya. Cuma ini gain momentum buat kripto karena milenial mulai masuk, mereka punya profil risiko yang lebih agresif,” ucapnya.
Hanya saja, di balik potensi koin kripto yang sangat potensial tersebut, menurutnya calon investor juga harus berhati-hati dengan risikonya. Pasalnya, volatilitas kripto sangat tinggi dan perdagangan koin-koinnya belum teregulasi dengan baik.
Tidak seperti saham yang telah diregulasi oleh otoritas terkait dan memiliki safety net bagi investornya lewat sistem auto rejection atas atau bawah (ARA atau ARB), di mana ada batasan maksimum dan minimum kenaikan dan penurunan harga saham dalam sehari.
“Kalau bicara volatilitas kripto sangat tinggi. Belum diregulasi atau unregulated market, tidak ada safety net buat investor, tidak ada namanya ARB, dia mau turun dalam hitungan detik ya dia hilang aja tuh duit kaya kasusnya SQUID koin,” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra