26.5 C
Jakarta
Sabtu, 23 November, 2024

Daya Beli 9,48 Juta Kelas Menengah Indonesia Menurun, Terancam Jatuh Miskin?

JAKARTA, 24 Oktober 2024 – Menurut Managing Partner Inventure, Yuswohady, saat ini ekonomi sejumlah kalangan termasuk kelas menengah Indonesia tengah berada di ambang ketidakpastian.

Diantaranya, dengan melihat kondisi deflasi yang menyerang beberapa bulan terakhir.

Berdasarkan hasil survei Inventure beberapa waktu lalu, sepanjang tiga tahun belakangan ini terdapat banyak temuan dari kondisi masyarakat kelas menengah Indonesia.

Survei tersebut mengungkap sebanyak 51% kelas menengah merasa tidak mengalami penurunan daya beli, sementara 49% merasa bahwa daya beli mereka sangat turun drastis.

Deflasi Lebih Mendalam

Hal senada disampaikan Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

BPS melaporkan pada September 2024 terjadi deflasi sebesar 0,12 persen.

Secara tahunan, katanya, masih terjadi inflasi sebesar 1,84 persen.

“Deflasi pada September 2024 terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan,” ungkap Amalia.

Amalia menjelaskan penyebab deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan kontribusi sebesar 0,59 persen.

Komoditas dominan yang memberikan andil deflasi di antaranya adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan tomat.

Kelas Menengah Indonesia, Dampak Pandemi Hingga Ekonomi Lesu 

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk.

Lalu, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.

Artinya ada sebanyak 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Karena, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk.

Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas kedua kelompok itu.

“Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari Pandemi Covid-19 terhadap ketahanan dari kelas menengah,” ucap Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

Indonesia Rentan Miskin

Menurut BPS, selain turun kelas, penduduk kelas menengah di Indonesia juga rentan miskin selama 10 tahun terakhir.

Tercermin dari modus pengeluaran penduduk kelas menengah yang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya.

Hal itu mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas, dan rentan untuk jatuh ke kelompok aspiring middle class atau kelompok kelas menengah rentan, bahkan rentan miskin.

Amalia mengatakan, batas atas pengelompokkan kelas menengah per 2024 ialah 17 x dari garis kemiskinan (Rp 582.932 per kapita per bulan) atau senilai Rp 9,90 juta. Sementara itu, batas kelompok menengah bawahnya adalah 3,5 x Rp 582.932 atau senilai Rp 2,04 juta.

Adapun modus pengeluarannya sebesar Rp 2,05 juta pada 2024, atau semakin dekat dengan batas bawah ukuran kelas menengah yang sebesar Rp 2,04 juta. Padahal, pada 2014, modus pengeluarannya sebesar Rp 1,70 juta dengan batas bawah senilai Rp 1,05 juta dan batas atas hanya sebesar Rp 5,14 juta.

Income Secara Tidak Sadar Tergerus

Ekonom senior yang merupakan mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi Covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Melainkan juga akibat kebiasaan sehari-hari kebutuhan terhadap air kemasan, seperti galon.

“Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya,” kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu menekankan, kebiasaan mengkonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara.

Di negara maju misalnya, warga kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minum.

“Daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak,” kata dia.

Meski begitu, Bambang mengatakan faktor kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun ‘kasta’ ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Bambang menduga faktor utama tumbangnya kelas menengah RI adalah pandemi Covid-19.

“Penyebabnya itu variatif. Karena kan kita lihat datanya dari 2019 ke 2023. Jadi penyebab pertama adalah Covid,” ujar dia.

Selama Covid-19, kata dia, banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Sementara sebagian lainnya, mengalami kebangkrutan bisnis.

“Jangan lupa loh Covid itu terjadi 2 tahun dan yang terjadi pada waktu itu ada kelas menengah yang kehilangan pekerjaan dan kelas menengah yang bisnisnya berhenti atau bangkrut,” pungkasnya.

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU