JAKARTA, duniafintech.com – Indonesia menargetkan transformasi menuju ekonomi hijau pada 2030. Untuk mencapai target tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan sedikitnya dibutuhkan investasi sebesar US$479 miliar atau setara Rp6.700 triliun untuk transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, dengan jumlah sebesar itu, jika dibagi per tahun setidaknya membutuhkan investasi sebesar Rp745 triliun.
“Hal ini dikarenakan transisi dari ekonomi konvensionalĀ kepada ekonomi berkelanjutan yang berfokus kepadaĀ lingkungan membutuhkan biaya sangat besar,” katanya dalam webinar, Selasa (28/12).
Wimboh mengungkapkan, dalam pengembangan ekonomi hijau dan penanganan perubahan iklim, Indonesia menjadi negara yang sangat penting. Pasalnya, Tanah Air dianugerahi dengan kekayaan akan sumber daya mineral dan potensi keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Menurutnya, ekonomi hijau merupakan sebuah upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memangkas kesenjangan di masyarakat. Pada saat yang bersamaan juga mengurangi risiko lingkungan dan memastikan sumber daya alam tetap terjaga.
Adapun, target Indonesia dalam melakukan transisi menuju ekonomi hijau yakni pengurangan emisi gas rumah kaca, sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030 sesuai Perjanjian Paris atau paris agreement, dan pencapaian net zero emission di tahun 2060.
āUntuk mendukung agenda penanganan perubahan iklim tersebut, Indonesia bersama Amerika Serikat (AS) telah membentuk Task Force Climate Change. OJK menjadi anggota di Working Group 4 terkait Sustainable and Blended Finance for Our Common Future,ā ujarnya.
Selain itu, Wimboh menyebut besarnya biaya dalam mewujudkan transisi ekonomi tersebut tidak bisa hanya ditanggung oleh negara melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Sehingga dibutuhkan sinergi dengan pihak swasta dan bantuan organisasi internasional agar dapat secara optimal menyokong kebutuhan pembiayaan yang sangat besar tersebut.
Sebagai contoh, pemerintah telah memperhitungkan dana yang diperlukan untuk membiayai transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, yakni mencapai US$ 5,7 miliar atau berkisar Rp81,6 triliun.
“Biaya transisi tersebut juga terkait dengan perubahan pada industri hilir yang harus mengubah proses pengolahannya sebagaimana prinsip ekonomi hijau,ā tuturnya.
Selain Indonesia, beberapa negara juga telah menyediakanĀ anggaran yang cukup besar di tahun 2022 untukĀ mendukung pengembangan ekonomi hijau, sepertiĀ Jepang sebesar US$ 40 miliar dan Amerika Serikat sebesar US$36 miliar.
Wimboh memaparkan, OJK sebagai otoritas di sektor keuangan memiliki andil yang besar dalam menyusun kebijakan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dalam mendukung implementasi ekonomi hijau.
Kebijakan ini dimulai dengan penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2020) melalui POJK Nomor 51 Tahun 2017, yang mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB).
Selain itu, terdapat kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik untuk menyampaikan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report).
“Hasilnya, Indonesia memperoleh peringkat satu berdasarkan survei tentang tingkat kepercayaan terhadap perusahaan yang menyampaikan laporan kinerja keberlanjutan dari Globescan and Global ReportingĀ Initiative di tahun 2020,” kata dia.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra