28 C
Jakarta
Kamis, 26 Desember, 2024

Dilema Tarif PPN 12%: Antara Tambah Cuan Negara atau Bikin Rakyat Susah?

JAKARTA 25 November 2024 – Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini memicu berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di media sosial, dengan banyak yang khawatir kebijakan tersebut akan menekan daya beli, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Pemerintah: Kebutuhan Pokok Tetap Bebas Tarif PPN

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Hastuti, menyatakan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat luas akan minim. Ia menekankan bahwa barang dan jasa kebutuhan utama, seperti bahan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan jasa sosial, tetap bebas dari PPN.

“Kenaikan ini tidak memengaruhi kebutuhan rakyat banyak,” ujar Dwi.

Ia juga menambahkan bahwa penerimaan tambahan dari kenaikan PPN akan dimanfaatkan untuk program-program bantuan sosial, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi listrik, gas LPG 3 kg, dan pupuk bersubsidi.

Pengamat: Dampak Lebih Besar pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Berbeda pandangan, Jahen F. Rezki, Wakil Kepala LPEM FEB UI Bidang Penelitian, menyebut bahwa kenaikan PPN akan memberikan tekanan lebih besar pada masyarakat miskin dibandingkan kelompok kaya.

Berdasarkan data, kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% pada 2022-2023 meningkatkan pengeluaran rumah tangga miskin sebesar 0,71%, sementara dampaknya pada rumah tangga kaya hanya 0,55%.

Dengan kenaikan menjadi 12%, beban pada rumah tangga miskin diperkirakan meningkat hingga 4,79% dari total pengeluaran mereka.

“Kenaikan ini berpotensi menekan daya beli kelas menengah ke bawah dan bisa memicu lonjakan angka kemiskinan,” jelas Jahen.

Kekhawatiran terhadap Pertumbuhan Konsumsi dan Ekonomi

Di media sosial, muncul seruan untuk memboikot pembelian barang-barang yang dikenakan PPN, seperti smartphone dan kendaraan pribadi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena konsumsi masyarakat berkontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Direktur Big Data INDEF, Eko Listiyanto, mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam beberapa kuartal terakhir lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III 2024, misalnya, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95%, tetapi konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91%.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan yang mendorong konsumsi, bukan beban tambahan seperti kenaikan PPN,” ujar Eko.

Meski ia mengakui bahwa memberikan stimulus memerlukan anggaran besar, Eko menyarankan agar pemerintah tidak menambah beban masyarakat jika sulit mencari sumber pendanaan tambahan.

“Pemerintah harus memilih antara mengejar target penerimaan jangka pendek atau fokus mendukung daya beli masyarakat,” tambahnya.

Dilema Besar

Kenaikan tarif PPN ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Sementara langkah tersebut diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara, ada risiko nyata terhadap daya beli masyarakat yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Pilihan ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan anggaran dengan upaya menjaga stabilitas konsumsi masyarakat.

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU