Gharar, Dharar, dan Qimar adalah tiga hal utama yang menjadi kekhawatiran ketika membahas tentang mengapa crypto haram sebagai alat tukar di luar regulasi Bank Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan fatwa atau keputusan mengenai status halal atau haram kepada crypto pada 11 November kemarin.
Keputusan mengenai hal tersebut dilakukan dalam Ijtima Ulama MUI pada Kamis (11/11/2021). Dalam keputusan tersebut ada tiga hal utama yang disampaikan MUI mengenai halal atau haramnya crypto secara umum. MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan bahwa crypto memiliki status haram sebagai alat tukar, namun juga memiliki beberapa syarat untuk menjadi halal sebagai komoditas.
Namun, apa sebenarnya definisi dari ketiga hal tersebut yang membuat MUI ini mengharamkan crypto sebagai alat tukar.
Mengenal Istilah Gharar, Dharar, dan Qimar
Ketiga istilah tersebut digunakan dalam Ekonomi Islam untuk memastikan seluruh transaksi yang akan dilakukan bersifat halal dan baik.
Ketiga istilah tersebut adalah istilah yang paling umum dinyatakan di pasar keuangan, maka itu tidak hanya crypto, namun juga aset lain seperti saham.
Ketiga istilah ini muncul akibat adanya beberapa kesalahpahaman mengenai pasar keuangan, namun untuk dapat memahaminya, maka akan dibahas melalui mengenai istilah tersebut satu per satu.
Apa itu Gharar?
Gharar adalah suatu istilah yang berarti ketidakpastian atau ketidakjelasan. Umumnya, ketidakpastian atau ketidakjelasan ini juga akan menyangkut perihal muamalah ataupun perdagangan.
Dalam pasar keuangan yang dilakukan secara keseluruhan intinya adalah perdagangan, yakni perdagangan komoditas, perdagangan aset, atau perdagangan efek.
Umumnya, hal ini memiliki tiga landasan dalam ketidakpastiannya, antara lain yaitu ketidakpastian harga, perpindahan tangan atau kepemilikan, dan juga produk atau barang dari sisi jumlah dan keberadaan.
Larangan ini dilakukan untuk memastikan bahwasanya kedua belah pihak dalam sebuah transaksi atau muamalah dapat diuntungkan, sehingga tidak ada satu pihak yang akan dirugikan. Gharar ini menjadi diperbolehkan jika selama kedua belah pihak memahami betul semua aspek dalam transaksinya dan setuju tanpa adanya paksaan.
Selama transaksi tersebut dilakukan secara kontan (dengan harga yang diketahui atau tetap pada saat transaksi) dan juga dari kedua belah pihak sudah mengetahui barang serta setuju, maka pada umumnya transaksi tersebut dianggap sah. Satu hal yang seringkali dipermasalahkan dalam pasar keuangan adalah Gharar dari sisi harga akibat volatilitas yang cukup tinggi.
Namun, seharusnya jika selama transaksi tersebut terjadi secara kontan dan ada persetujuan dari dua pihak tanpa adanya paksaan, maka transaksi tersebut dapat dikategorikan secara sah.
Akan tetapi, dalam penentuan ini umumnya terdapat perspektif yang berbeda dimana jarang pihak yang mengetahui bahwa aset keuangan bukan taruhan, namun terdapat juga analisis teknikal berbasis matematika dan juga statistik, serta analisis fundamental yang dilakukan. Walaupun begitu, kemungkinan besar dalam kondisi inilah yang membuat MUI menetapkan adanya sifat Gharar dalam crypto.
Apa itu Dharar?
Dharar adalah istilah untuk menyatakan sebuah transaksi yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau unsur penganiayaan. Konsep ini pada umumnya diambil pada saat adanya perpindahan tangan dari suatu kepemilikan barang yang terjadi secara tidak baik atau batil.
Kondisi ini umumnya sering terjadi saat adanya paksaan atau penganiayaan dalam hal transaksi yang membuat salah satu pihak dirugikan. Asumsikan bahwa kondisi ini sering terjadi di pasar keuangan, termasuk crypto, maka sangat lazim akibat adanya investor besar atau whale.
Namun, perlu diketahui juga bahwa dari perpindahan kepemilikan ini akan selalu dilakukan secara relawan atau tanpa adanya paksaan apa pun. Investor atau trader yang menjual aset mereka secara panik akibat koreksi harga besar adalah mereka yang menjualnya sesuai kemauan pribadi. Jadi, dalam crypto tidak ada sebuah paksaan apapun dalam penjualan tersebut.
Tapi sayangnya, kondisi ini kerap kali dianggap sebagai suatu kezaliman atau penganiayaan kepada satu pihak karena dianggap dirugikan. Walaupun pernyataan tidak sepenuhnya salah, namun volatilitas atau pergerakan harga adalah satu hal yang tidak akan luput, tidak hanya di sektor keuangan tapi juga di sektor riil.
Sehingga, pengkajian mengenai permasalahan Dharar ini seharusnya perlu diperdalam dan harus mengedepankan beberapa aspek yang lazim terjadi di pasar keuangan. Kemungkinan besar kajian tersebut sudah dilakukan dalam sudut pandang MUI (Majelis Ulama Indonesia) sehingga membuatnya mengharamkan crypto.
Apa itu Qimar?
Qimar adalah suatu transaksi yang terjadi secara batil atau tidak baik karena saat hanya ada satu pihak yang untung, dan ada satu pihak yang rugi. Mengenai teori ini jika dalam konsep ekonomi bernama zero sum game, dalam istilah umum berarti konsep ini dianggap sebagai kompetisi.
Pernyataan ini memang benar di pasar keuangan, termasuk crypto dimana saat ada yang untung dan ada kemungkinan juga yang rugi. Kondisi ini berasal dari pandangan yang membuat kondisi pasar keuangan selalu bergerak dan meningkat dalam volume.
Pandangan yang dimaksud adalah dimana saat ada yang menjual pasti juga akan ada yang membeli. Sehingga, adanya kemungkinan saat ada yang menjual dalam rugi saat ada yang membeli. Akan tetapi, perlu diingat kembali bahwa Qimar juga terkadang disamakan dengan Maisir atau judi dimana semua hanya dianggap sebagai permainan peluang.
Jadi, asumsi tersebutlah yang nantinya memiliki kemungkinan akan membuat banyak pihak berasumsi bahwa pasar keuangan sering merugikan, karena mereka memiliki sudut pandang yang hanya jual-beli aset tanpa memandang potensi atau sifat asetnya. Perlu diingat bahwa ketiga pandangan tersebut dilakukan dalam analisis aset crypto sebagai aset spot dan bukan derivatif.
Walaupun begitu, nampaknya sekarang ini kemungkinan besar asumsi yang terlihat di pasar adalah MUI telah mempertimbangkan seluruh hal ini dalam keputusannya.Â
Pernyataan MUI terkait Crypto
Untuk saat ini memang belum terdapat Fatwa tertulis resmi dari MUI dikarenakan semua kabar yang beredar hanya diambil dari pernyataan publikasi lisan. Umumnya saat suatu fatwa yang sudah jelas, maka nantinya akan ada versi tertulis yang akan dipublikasi dan tersimpan pada situs resmi MUI.
Kenyataannya, saat ini crypto memiliki jenis yang sangat beragam dengan kegunaan dan teknologi yang juga sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Untuk saat ini masih belum diketahui apakah ijtima atau perundingan ulama MUI sudah mempertimbangkan teknologi blockchain dan aplikasi terdesentralisasi sebagai underlying asset atau aset yang mendasari.
Karena itu masih belum ada kepastian yang jelas mengenai hal tersebut hingga adanya publikasi fatwa yang tertulis dan juga merincikan peraturan crypto secara Islam. Tapi dari pernyataan MUI tersebut dapat dilihat bahwa terdapat kemungkinan besar bahwa crypto yang boleh sebagai komoditas adalah yang memiliki kegunaan jelas seperti blockchain atau aplikasi terdesentralisasi sendiri dengan fitur smart contracts atau kontrak pintar.
Namun untuk alat tukar, nampaknya MUI sudah mengacu pada peraturan negara, khususnya Bank Indonesia (BI), bahwa alat tukar yang sah di Indonesia memang hanya Rupiah.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra