JAKARTA, 25 Oktober 2024 – Tantangan dalam industri perbankan era Presiden Prabowo Subianto, menjadi salah satu pekerjaan rumah penting bagi pemerintahan baru Indonesia. Sebagai lembaga intermediasi, pertumbuhan kredit perbankan perlu dijaga untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, sesuai visi Presiden Prabowo Subianto.
Industri Perbankan era Presiden Prabowo
Tampaknya sektor perbankan memang menjadi perhatian utama pemerintah. Presiden Prabowo bahkan telah menunjuk Setiawan Ichlas sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Perbankan.
Jika melihat kinerja perbankan dalam beberapa tahun terakhir, tren pertumbuhan kredit menunjukkan hasil yang positif. Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan kredit bank mencapai dua digit.
Jika target pertumbuhan kredit sebesar 10%-12% untuk tahun ini tercapai, maka ini akan menjadi tiga tahun berturut-turut kredit tumbuh dua digit, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Namun, selama dekade terakhir, kredit perbankan mengalami fluktuasi, terutama selama pandemi COVID-19 ketika pertumbuhan kredit turun sekitar 2,41% pada 2020. Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan justru melambat, dengan pertumbuhan hanya 3,73% secara tahunan (YoY) pada 2023, yang merupakan pertumbuhan terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa pertumbuhan kredit ke depan sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Menurutnya, kebijakan pemerintah baru juga bisa memberikan sentimen positif bagi sektor perbankan, meskipun pertumbuhan kredit tetap tergantung pada kemampuan konsumsi masyarakat.
“Kita tidak bisa mengharapkan kebijakan yang langsung mendorong kredit. Karena kredit tetap bergantung pada daya beli,” ujar Jahja.
Baru-baru ini, BCA merilis laporan keuangan per September 2024, di mana kredit tumbuh sebesar 14,5% YoY, lebih tinggi dari rata-rata industri yang tumbuh sekitar 10%. Sementara itu, DPK BCA tumbuh 3,4% YoY dengan total mencapai Rp 1.125 triliun.
Jahja memprediksi bahwa pertumbuhan kredit pada kuartal terakhir 2024 mungkin tidak akan lebih besar dibandingkan kuartal III, mengingat pertumbuhan kredit pada kuartal akhir tahun lalu cukup agresif.
“Kami tetap memperhatikan DPK, terutama tabungan dan giro. Selain itu, kualitas kredit juga menjadi fokus kami,” tambah Jahja.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Royke Tumilaar, optimis bahwa program-program pemerintah baru akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya meningkatkan penyaluran kredit.
“Jika dieksekusi dengan baik dan belanja pemerintah berjalan lancar, pertumbuhan ekonomi akan terdorong,” kata Royke.
Penurunan Suku Bunga
Ia juga berharap agar Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan secara agresif untuk membantu perbankan memenuhi permintaan kredit, mengingat suku bunga yang tinggi saat ini membebani biaya bunga BNI. Hal ini terlihat dari penurunan pendapatan bunga bersih BNI sekitar 6,82% YoY menjadi Rp 25,56 triliun per Agustus 2024.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa pertumbuhan kredit perbankan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian. Berdasarkan data historis dalam 10-20 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi berdampak langsung pada peningkatan kredit. Misalnya, saat pandemi COVID-19, permintaan kredit menurun tajam seiring dengan berhentinya aktivitas ekonomi.
Josua juga menekankan bahwa jika perbankan diharapkan mencapai pertumbuhan kredit yang tinggi di tengah risiko ekonomi global yang melambat dan menurunnya daya beli kelas menengah, ada risiko peningkatan kredit bermasalah (NPL).
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk menetapkan sektor-sektor prioritas yang perlu didukung oleh pembiayaan perbankan, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian.
“Pertumbuhan kredit pada 2025 diperkirakan akan berada di kisaran 10%-12%, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi berada di sekitar 5,1%-5,2%,” jelas Josua.