JAKARTA, 18 November 2024 – Rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 terus menuai kekhawatiran dari pelaku usaha, khususnya di sektor ritel dan pusat perbelanjaan. Kebijakan ini dinilai akan memicu lonjakan harga barang dan melemahkan daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah bawah, yang menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menegaskan bahwa daya beli masyarakat telah mengalami penurunan sejak awal 2024. Ia menilai, kebijakan kenaikan PPN ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi.
“Dari awal kami meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Dampaknya tidak hanya menaikkan harga barang, tetapi juga menurunkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah,” ujar Alphonzus.
Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga pada Ekonomi
Alphonzus menggarisbawahi pentingnya daya beli masyarakat bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 57% dari Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan daya beli akan berdampak langsung pada target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 8% pada 2025.
“Mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelas menengah bawah. Jika daya beli mereka terganggu, pertumbuhan ekonomi juga akan terhambat. Kenaikan PPN ini jelas mengancam pencapaian target tersebut,” tambahnya.
Kekhawatiran Likuiditas Pelaku Usaha
Senada dengan APPBI, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, juga mengungkapkan kekhawatiran terkait beban tambahan bagi pelaku usaha. Menurutnya, kenaikan PPN ini akan memengaruhi arus kas (cash flow) perusahaan, terutama karena pengusaha diwajibkan menyetorkan pajak sebelum menerima pembayaran penuh dari konsumen.
“Kenaikan PPN menjadi 12% akan menyerap likuiditas usaha. Ini menjadi tantangan besar, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah,” jelas Budihardjo.
Ia juga menyoroti fakta bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih sejak pandemi COVID-19. Oleh karena itu, kebijakan ini dianggap tidak tepat waktu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi.
Usulan Stimulus dan Peninjauan Kebijakan Kenaikan PPN
Para pelaku usaha kompak meminta pemerintah untuk meninjau ulang rencana kenaikan PPN ini. Jika kebijakan tetap dilaksanakan, mereka berharap pemerintah memberikan insentif atau stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah bawah.
“Jika kenaikan PPN 12% tetap dilakukan, kami harap ada program-program yang dapat mendorong daya beli masyarakat. Misalnya, subsidi atau bantuan langsung kepada golongan ekonomi bawah,” ujar Budihardjo.
Selain itu, Hippindo berencana menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengusulkan audiensi terkait kebijakan ini. Mereka juga mempertimbangkan opsi penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagai solusi untuk menunda implementasi kenaikan PPN.
“Kami memahami bahwa kenaikan PPN ini telah diatur dalam undang-undang. Namun, Presiden dapat menerbitkan PERPU untuk menunda pelaksanaan hingga situasi ekonomi lebih kondusif,” tambahnya.
Data Terbaru dan Analisis Dampak
Hingga kuartal III 2024, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat ke angka 4,7%, dibandingkan 5,2% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat. Selain itu, inflasi yang mencapai 3,5% pada Oktober 2024 juga menjadi faktor yang memengaruhi harga kebutuhan pokok.
Pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai bahwa kenaikan PPN harus disertai strategi mitigasi yang jelas.
“Jika pemerintah tidak memberikan stimulus atau kompensasi yang memadai, kenaikan PPN akan memperbesar ketimpangan ekonomi,” ujarnya.
Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 memang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, tanpa langkah mitigasi yang tepat, kebijakan ini berpotensi menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Para pelaku usaha dan ekonom mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini demi menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah bawah.