JAKARTA, duniafintech.com – Maraknya masyarakat yang menjadi korban investasi ilegal atau pinjol ilegal belakangan ini, diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat. Bahkan jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan terdapat gap yang lebar.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK pada 2019 terlihat bahwa indeks literasi keuangan baru mencapai 38,03%, sedangkan indeks inklusi keuangan telah mencapai 76,19%.
Meskipun, angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil survei di 2016, di mana indeks literasi keuangan saat itu sebesar 29,7% dan indeks inklusi keuangan 67,8%, namun hasil survei tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat ruang optimalisasi yang besar.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah menyoroti hal ini. Dia mengatakan, kasus investasi ilegal ini tidak akan pernah terjadi atau dapat diminimalisir jika tingkat literas keuangan masyarakat tak jeblok.
Karena itu, dia menilai bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator memiliki peranan penting dalam upaya meningkatkan literasi keuangan masyarakat, lebih-lebih di tengah penetrasi keuangan digital yang meningkat.
“Kasus-kasus seperti ini tidak marak kalau literasi keuangan rakyat sudah baik. OJK berperan paling utama dalam upaya meningkatkan literasi keuangan masyarakat,” katanya kepada Duniafintech.com, Kamis (21/4).
Bahkan, OJK juga telah memiliki sejumlah anggaran untuk menjalankan program-program yang berkaitan dengan upaya peningkatan literasi keuangan masyarakat.Â
“Anggaran untuk meningkatkan literasi keuangan ada di OJK. Dan memang fungsi utama OJK sebagai regulator keuangan adalah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan,” ucapnya.
Hanya saja, Said tidak menyebutkan secara jelas berapa anggaran yang dialokasikan oleh OJK untuk program-program peningkatan literasi keuangan. Yang jelas, jika dana tersebut dioptimalkan maka jebakan investasi ilegal dapat dimitigasi.
Pasalnya, dari data yang dimiliki Said, pada 2021 saja aduan kasus ke OJK yang masuk terkait pinjaman online (pinjol) ilegal saja telah mencapai 19.711 kasus.Â
Bahkan, jika digabungkan dengan data Satgas Waspada Investasi (SWI), total kerugian masyarakat akibat investasi bodong mencapai Rp117,5 triliun. Kerugian ini akumulasi selama 10 tahun, atau sejak 2011 hingga 2021.Â
Kerugian tersebut berasal dari berbagai macam investasi, baik pinjol ilegal, investasi logam mulia, penipuan aset crypto, maupun investasi skema ponzi, dan binary options.
Karena itu, untuk mencegah meluasnya dampak investasi ilegal ini ke masyarakat, berbagai macam program edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat perlu diperkuat.
Menurut Said, hanya ada dua dasar literasi keuangan sebagai pertimbangan masyarakat dalam berinvestasi, yakni Logis dan Legal atau 2L.
Logis artinya apakah skema investasi atau pinjaman baik yang online maupun yang offline masuk akal (logis). Salah satu ketidaklogisan misalnya menjanjikan return tinggi dengan jangka waktu yang pendek.Â
“Penawaran produk-produk seperti ini tidak dijelaskan dengan utuh resiko-resiko bagi nasabah atau debiturnya. rakyat kita hanya tergiur dengan penawaran imbal hasil tinggi tanpa melihat resiko resikonya,” ucapnya.
Prinsip yang kedua adalah Legal, apakah seluruh produk produk yang ditawarkan tersebut perlu di cek legalitasnya, apakah produk keuangan atau perdagangan tersebut telah mendapatkan perizinan dari OJK atau Bappepti, atau Bank Indonesia, jika menyangkut sistem pembayaran.Â
“Masyarakat bisa mengeceknya melalui layanan call center di masing masing lembaga tersebut,” tambahnya.
Adapun, hingga berita ini diterbitkan, OJK tidak menjawab berapa anggaran dan program apa yang telah dijalankan dalam rangka meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Penulis: Nanda Aria
Admin: Panji A Syuhada