JAKARTA – Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar, meminta pemerintah untuk segera menemukan solusi guna mengatasi penurunan daya beli masyarakat, yang berdampak buruk pada industri manufaktur nasional.
Kinerja sektor manufaktur yang semakin melemah terlihat dari laporan terbaru S&P Global, yang mencatatkan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia turun ke level 48,9 pada Agustus 2024, lebih rendah dibandingkan posisi bulan sebelumnya di angka 49,3. Ini menjadi catatan terburuk bagi sektor manufaktur Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
“Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret dan kebijakan jangka pendek untuk memperbaiki kondisi industri manufaktur, terutama yang terdampak oleh penurunan pasar ekspor dan daya beli masyarakat,” ujar Bobby.
Bobby mengusulkan beberapa kebijakan yang dapat diambil pemerintah, di antaranya memperketat proteksi pasar domestik dari masuknya barang impor dan menurunkan suku bunga untuk meningkatkan likuiditas di pasar.
Bangkitkan Manufaktur, Tak Menambah Beban Pajak
Bobby juga menekankan bahwa pemerintah sebaiknya tidak menambah beban baru bagi masyarakat, seperti kenaikan pajak dan cukai pada produk makanan dan minuman kemasan.
“Insentif bagi kelas menengah sudah ada, namun dampaknya masih belum maksimal dalam mendongkrak daya beli. Hal ini dikarenakan jumlah kelas menengah yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pertumbuhan ekonomi lebih mengarah pada pemanfaatan sumber daya yang tidak memiliki nilai tambah,” jelasnya.
Untuk diketahui, indeks PMI menggunakan angka 50 sebagai batas ekspansi; di atas 50 menunjukkan pertumbuhan positif, sementara di bawah 50 menandakan kontraksi.
“Penurunan indeks PMI sudah terprediksi sejak April 2024 dan tren ini berpotensi berlanjut ke depan,” tambahnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyatakan bahwa penurunan indeks manufaktur disebabkan oleh lemahnya permintaan baik di pasar domestik maupun ekspor, serta gangguan pasokan.
Menurut Shinta, tidak ada solusi cepat untuk mengatasi penurunan kinerja manufaktur. Untuk mengembalikan sektor ini ke jalur pertumbuhan, dibutuhkan langkah-langkah strategis.
Langkah pertama adalah memastikan transisi kepemimpinan yang lancar tanpa gangguan sosial-politik yang signifikan. Kedua, diperlukan stimulasi di sisi produktif melalui kemudahan akses bahan baku impor, akses pembiayaan yang terjangkau, serta deregulasi perizinan investasi. Ketiga, pengamanan daya beli dengan cara mengendalikan inflasi kebutuhan pokok dan memberikan stimulus bagi konsumsi kelas menengah.
Solusi Instant Tingkatkan Daya Saing Manufaktur Indonesia
Shinta menekankan bahwa tidak ada solusi instan untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur tanpa perubahan menyeluruh pada kebijakan yang mendukung ekosistem industri.
“Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha untuk meninjau ulang kebijakan industri agar sejalan dengan kebutuhan daya saing di pasar domestik dan internasional,” ujarnya.
“Upaya peningkatan daya saing industri nasional tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan melalui proses berkelanjutan,” tambah Shinta.
Kinerja manufaktur Indonesia kembali terkontraksi untuk dua bulan berturut-turut, dipengaruhi oleh penurunan output dan pesanan baru pada Agustus. Laporan S&P menyebutkan bahwa permintaan pasar lebih lemah dibandingkan Juli, dan pesanan luar negeri mencatat penurunan terburuk sejak Januari 2023.
Kendala logistik dan penurunan stok di vendor memperpanjang waktu pengiriman, sementara harga bahan baku terus naik akibat nilai tukar yang tidak stabil. Meskipun inflasi harga input mulai mereda, inflasi di sektor manufaktur tetap tinggi, memasuki bulan ke-14 berturut-turut.
Meskipun keyakinan produsen sedikit melemah, mereka tetap optimis bahwa produksi akan meningkat dalam setahun ke depan, dengan harapan stabilitas ekonomi dapat mendukung peningkatan output dan pesanan baru.