JAKARTA, 28 Oktober 2024 – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto berniat mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari blok BRICS.
Hal itu terungkap dari pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia.
Untuk diketahui, salah satu akun yang kerap membagi informasi soal BRICS sebelumnya mengunggah belasan negara yang menjadi partner.
“BRICS secara resmi menambah 13 negara baru ke aliansi sebagai negara partner (bukan anggota penuh),” demikian pernyataan resmi BRICS di X.
Selain Indonesia, negara-negara itu yakni Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam.
Sebagai informasi, saat ini Indonesia beserta 12 negara lainnya (Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam) pada dasarnya sudah menjadi mitra BRICS. Namun mitra BRICS sendiri hanya diperbolehkan terlibat dan berpartisipasi secara selektif dalam urusan BRICS. Mereka tetap menjadi peserta dalam inisiatif internasional lainnya tapi tanpa komitmen penuh terhadap blok tersebut.
“Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono.
Dampaknya ke Indonesia
Beberapa ekonom mewanti-wanti Presiden Prabowo Subianto tentang adanya risiko yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Dengan bergabung bersama kelompok Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
Salah satu ekonom yang menyampaikan potensi risiko ini ialah Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Ia menitikberatkan pada makin besarnya risiko ketergantungan ekonomi Indonesia dengan China.
Sebab, saat ini saja, impor Indonesia dari China sudah melonjak 112,6% dalam 9 tahun terakhir, dari US$ 29,2 miliar pada 2015 menjadi US$ 62,1 miliar pada 2023.
“Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023,” kata Bhima, Senin (28/10/2024).
Ditinjau dari Sisi PDB
Sementara dari sisi PDB, saat ini PDB BRICS+ masih sekitar 20%an.
Namun jika belasan negara yang telah mengajukan keanggotaan menjadi anggota tetap termasuk pasar berkembang seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Maka, akan meningkatkan pangsa BRICS+ menjadi sekitar sepertiga dari PDB global dan bahkan dapat menyalip G7.
Berdasarkan data PDB dari Bank Dunia per 2020 (untuk Kuba) dan 2023 (untuk 12 negara lainnya), jika dijumlahkan nominal GDP 13 negara tersebut maka didapatkan tambahan sekitar US$5,05 triliun atau sekitar Rp79.001 triliun (asumsi kurs Rp15.635/US$). Sementara Indonesia sendiri per 2023, tercatat memiliki PDB hampir Rp21.000 triliun. Bahkan ke depan PDB Indonesia terus diproyeksikan mengalami peningkatan.
Potensi BRICS
Tidak hanya soal PDB, pada 2020, pangsa BRICS+ dalam produksi global (ekstraksi dan transformasi) bahan mentah kritis, terutama untuk transisi ekologis, menunjukkan kontribusi yang signifikan.
Negara-negara anggota BRICS+, termasuk Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, serta negara-negara baru yang bergabung, memiliki peran penting dalam penyediaan bahan mentah seperti logam langka, mineral, dan sumber daya energi yang diperlukan untuk mendukung teknologi berkelanjutan dan inisiatif energi hijau.
Pangsa ini mencerminkan potensi BRICS+ untuk menjadi pemain kunci dalam mendukung transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
BRICS Dipelopori Lima Negara
Untuk diketahui, BRICS pada mulanya dipelopori oleh lima negara, yakni Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sedangkan kini anggota BRICS sudah bertambah. Sejauh ini terdapat lima negara yang telah resmi bergabung untuk menjadi anggota tetap BRICS. Kelima negara tersebut antara lain Arab Saudi, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Mesir.
“Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia,” tambahnya.
Selain itu, Sugiono juga mengajukan beberapa langkah konkret untuk memperkuat kerja sama BRICS dan Global South. Setidaknya ada tiga poin yang disampaikan. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan, di mana negara-negara berkembang membutuhkan ruang kebijakan, sementara negara maju harus memenuhi komitmen mereka.
Kedua, mendukung reformasi sistem multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai dengan realitas saat ini. Institusi internasional harus diperkuat dan memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi mandatnya.
Terakhir adalah menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Global South. BRICS dirasa dapat berfungsi sebagai perekat untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara berkembang.
Bersama-sama, sepuluh negara ini menyumbang sekitar 40% dari produksi dan ekspor minyak mentah global. Mereka juga menyumbang seperempat dari PDB global (sekitar 29% dari PDB global), sekitar 20% dari perdagangan barang global, dan hampir setengah dari populasi dunia.
Jika dilihat dari jumlah populasinya, maka BRICS+ tampak cukup menguasai dunia meskipun masih di bawah negara-negara yang termasuk G20.