JAKARTA, 16 Oktober 2024 – Nilai tukar rupiah masih tinggi saat menanti kebijakan Bank Indonesia terkait suku bunga atau BI Rate.
Meski belum ada keputusan dari pihak berwenang, namun sejumlah analisis dari para ekonom telah mulai ramai diperbincangkan.
Sejumlah ekonom menilai BI akan mempertahankan pada level 6%.
Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang menyampaikan bank sentral akan mempertahankan suku bunga, usai memangkas 25 bps pada bulan lalu.
Hal itu disebabkan karena pertimbangan volatilitas dari nilai tukar rupiah.
“[Proyeksi 6%] karena volatilitas nilai tukar terpantau masih tinggi,” ujarnya.
Hosianna menuturkan BI perlu menjaga kestabilan nilai tukar karena indikasi leading indikator menunjukkan inflection point ke arah perbaikan.
Secara keseluruhan, Hosianna memandang kecenderungan perlambatan domestik masih dikarenakan faktor eksternal.
Ke depan, pihaknya masih melihat ruang berlanjutnya penurunan suku bunga The Fed dan ekonomi China yang dapat perlahan rebound, akan menjadi katalis positif dan spillover ke ekonomi domestik.
Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah jadi Alasan
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menyampaikan stabilitas rupiah akan menjadi alasan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga sebesar 6%.
Menurutnya, kondisi ekonomi dan geopolitik eksternal masih relatif bergejolak.
Terlebih, memanasnya konflik di Timur Tengah.
“Terutama geopolitik Timur Tengah dan The Fed kemungkinan juga ke depan masih akan gradual pelonggaran moneternya,” tuturnya.
Ekonom LPEM FEB-UI Teuku Riefky memproyeksi Bank Indonesia masih akan tetap mempertahankan suku bunga BI Rate.
“Meskipun tingkat inflasi saat ini, penguatan Rupiah, dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed pada September 2024 menciptakan latar belakang yang menguntungkan, Bank Indonesia harus mempertahankan BI rate di 6,25% pada pertemuan bulan September,” katanya.
Pihaknya mengidentifikasi, pada Agustus 2024, inflasi umum Indonesia sedikit menurun dari sebesar 2,13% menjadi 2,12% (yoy).
Terutama disebabkan oleh penurunan harga pangan.
Sementara Inflasi inti naik menjadi 2,02% (yoy), terdorong oleh kenaikan harga emas perhiasan, kopi, dan pendidikan.
Sementara, rupiah menguat menjadi Rp15.395 per dolar AS pada pertengahan September ini.
Penguatan mata uang garuda didukung oleh arus modal masuk yang kuat dan cadangan devisa mencapai rekor US$150,2 miliar.
Lainnya, rilis data inflasi AS terkini membuka jalan bagi The Fed memangkas suku bunga acuannya secara bertahap mulai pekan ini.
Tingkat inflasi AS di Agustus melambat cukup signifikan dari 2,9% menjadi 2,5% (yoy) pada Agustus, capaian ini lebih rendah dari estimasi pasar yang dihimpun Reuters sebesar 2,6% (yoy).
Lebih lanjut, angka inflasi AS menyentuh titik terendahnya dalam tiga tahun terakhir akibat tren disinflasi yang terjadi secara persisten dalam lima bulan terakhir.
“Berdasarkan faktor pendorongnya, tekanan harga mulai melemah akibat turunnya harga bensin dan beberapa kelompok barang rumah tangga utama, seperti kebutuhan sehari-hari,” jabarnya.
BI Terus Cermati Ruang Penurunan
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan pemangkasan BI Rate sebesar 25 bps pada bulan lalu salah satunya karena telah melihat kejelasan dari arah penurunan suku bunga The Fed.
“Sebagai bentuk dukungan untuk mendorong pertumbuhan,” kata Perry.
BI juga terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan sesuai dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah.
Nilai tukar rupiah yang tetap stabil dan cenderung menguat, serta pertumbuhan ekonomi yang terus didorong agar lebih tinggi.
Melihat kinerja rupiah hari ini, mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup menguat tipis 0,08% ke Rp15.565,5 per dolar AS.
Adapun, indeks dolar AS menguat 0,13% ke 103,02. Sementara sepekan terakhir. Rupiah berfluktuasi di kisaran Rp15.600-an per dolar AS.