Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan hingga Oktober 2021 penyaluran dana melalui perusahaan pembiayaan berbasis teknologi atau fintech lending pada sektor produktif mencapai Rp114,76 triliun.
Nilai penyaluran tersebut setara dengan 43,65% dari total pembiayaan fintech di Tanah Air yang mencapai Rp262,9 triliun per September 2021.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi mengatakan, angka itu merupakan cerminan dari peran fintech yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum memiliki akses pembiayaan ke perbankan maupun lembaga keuangan lain.
“Sampai dengan Oktober 2021, akumulasi penyaluran di sektor produktif ini telah mencapai Rp114,76 triliun atau 43,65% dari akumulasi penyaluran pembiayaan secara total,” katanya dalam Dialog Kebangsaan Series 3 dengan tajuk ‘Pemberantasan Pinjaman Online Ilegal’, Selasa (9/11).
Prospek Fintech Cerah, Siap Jajal Pasar Global
Dia melanjutkan, meningkatnya prospek bisnis fintech tak hanya terjadi di pasar regional. Namun, juga di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) seperti Thailand dan Filipina. Bahkan, perusahaan fintech dalam negeri banyak yang telah melakukan ekspansi ke negara-negara tersebut.
Riswinandi bilang, hal ini membuktikan bahwa fintech P2P lending asal Indonesia memiliki keunggulan dan daya saing yang sangat baik. Terutama karena dalam operasionalnya yang sangat efisien.
“P2P lending mampu melakukan akuisisi pelanggan secara cepat, tanpa tatap muka atau online, dan mampu melakukan asesmen risiko dengan dukungan teknologi mesin cerdas buatan atau artificial intelligence,” ujarnya.
Tercoreng Pinjol Ilegal
Kendati demikian, Riswinandi menyebut, moncernya kinerja fintech P2P lending tercoreng dengan maraknya pinjaman online ilegal. Kondisi ini semakin diperburuk dengan banyaknya masyarakat yang terjerat pinjaman ilegal dengan bunga yang tak masuk akal.
Menurutnya, keadaan tersebut terjadi karena rendahnya literasi keuangan digital yang dimiliki masyarakat. Untuk itu, guna mengoptimalkan potensi fintech P2P Lending perlu diiringi dengan peningkatan literasi digital.
“Harus kita akui memang bahwa literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih rendah, yakni 38,03% atau setengah dari indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Jadi dengan kata lain, setengah dari masyarakat kita yang memiliki akses kepada produk keuangan belum paham mengenai produk keuangannya itu sendiri,” ucapnya.
Perlu Terus Galakan Edukasi Ke Masyarakat
Oleh karena itu, sambungnya, sangat penting mengedukasi masyarakat untuk dapat membedakan mana fintech legal atau terdaftar dan berizin OJK, dan mana yang ilegal atau tidak terdaftar dan berizin OJK.
Sebagai tindakan preventif, OJK juga sudah melakukan berbagai kegiatan termasuk sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai kanal seperti social media, webinar, kuliah umum baik yang dilakukan oleh internal OJK, Satgas Waspada Investasi dan pengawas.
“Secara berkala, OJK juga melakukan upgrading daftar list dari para pelaksana platform P2P lending yang berada di OJK baik melalui website maupun kanal social media lainnya,” tuturnya.
Menurutnya, hal Ini dilakukan agar masyarakat senantiasa bisa mengetahui daftar fintech yang sudah berizin dan terdaftar di OJK sebelum melakukan transaksi ke platform yang mengundang mereka.
Di sisi lain, pemberantasan pinjol ilegal ini juga menjadi tugas bersama yang perlahan tapi pasti tentu harus terus ditertibkan. Dia bilang, OJK tidak bisa melakukannya sendiri sehingga butuh bantuan semua stakeholder dan aparat penegakan hukum.
“Juga Kemenkominfo untuk melakukan cyber patrol dan juga untuk menghambat penyebaran aplikasi-aplikasi pinjol illegal, serta di kementerian/lembaga lain yang memiliki kaitannya dengan pemberantasan pinjol illegal ini,” tambahnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra