duniafintech.com – Perkembangan belanja online di tanah air dalam beberapa tahun terakhir sangat pesat. Di satu sisi, ini jelas menggairahkan perekonomian nasional. Di sisi lain, masih banyak pelaku-pelaku usaha yang belum paham terhadap pajak jual-beli online. Terlebih, Pemerintah akan mengeluarkan regulasi pajak terhadap pelaku e-commerce.
Seminar Tax Grand Seminar 2017: “Taxation for E-Commerce” mengupas topik ini. Seminar ini digelar oleh Himpunan Mahasiswa Perpajakan Universitas Padjadjaran (Unpad), Selasa (11/12/2017), di Graha Sanusi, Unpad. Seminar ini menghadirkan para pembicara Iwa Gartiwa selaku Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Kota Bandung; Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Bandung (INCONFIRMATION) Atalia Praratya Kamil; Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Yon Arsal; dan Rieka Handayani selaku Head of Public Relation blanja.com. duniafintech.com menjadi salah satu media partner dalam acara tersebut.
Saat ini, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menggodok skema perpajakan bagi pelaku usaha digital startup dan industri e-commerce di dalam negeri. Dalam pungutan pajak e-commerce itu, Pemerintah berencana mengenakan setiap transaksi dengan memanfaatkan data pembayaran transaksi melalui gerbang pembayaran nasional (National Payment Gateway/NPG) yang akan dipantau oleh Bank Indonesia (BI).
Wacana pengenaan pajak bagi pelaku e-commerce tak terlepas dari makin meningkatnya pengguna internet dan transaksi online di Indonesia. Pengguna internet Indonesia berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016, misalnya, mencapai 132,7 juta pengguna dari total populasi Indonesia 256,2 juta orang atau sekitar 51,8% dari total penduduk Indonesia menggunakan internet. Dalam dua tahun, angka ini mengalami peningkatan yang signifikan mengingat pengguna internet di Indonesia tahun 2014 sebesar 88,1 juta pengguna. Dari 132,7 juta pengguna internet Indonesia terdiri dari 52,5% pria dan 47,5% wanita.
Berdasarkan wilayah, pengguna tersebar di:
-Pulau Jawa sebesar 65% atau sebesar 86.339.350 pengguna
-Sumatera 15,7%
-Sulawesi 6,3%
-Kalimantan 5,8%
-Bali & Nusa 4,7%
-Maluku & Papua 2,5%
Berdasarkan data di atas sebagai wirausaha Indonesia, khususnya para pengusaha Kota Bandung, media internet merupakan potensi pangsa pasar terbuka yang sangat luas,” kata Iwa.
Sayangnya, pengenaan pajak e-commerce oleh DJP agaknya belum diketahui banyak pemain online. Yon Arsal mengatakan, DJP telah memasukkan potensi penerimaan pajak dari perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce) ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017.
Sebagian sudah ada yang bayar. Tahun ini sudah kami proses (masukkan ke APBNP),” jelas Yon.
Ia mengaku, DJP sulit memisahkan pajak e-commerce itu. Alasannya, sebagian besar e-commerce yang telah menyetor pajak merupakan perusahaan perdagangan yang menjalankan bisnis secara fisik (offline) dan non fisik (online) secara bersamaan. Sementara dari sisi target pajak, disebutnya masih bisa berubah sesuai dengan perkembangan data pelaku e-commerce. Adapun pelaku e-commerce terbagi atas mereka yang merupakan pelaku di dalam negeri dan e-commerce asing yang menjalankan bisnisnya di Indonesia.
Sekarang, kita kembangkan database-nya dulu,” terang Yon.
Selain itu, Pemerintah masih memformulasikan sistem pemungutan pajak yang adil bagi pelaku usaha e-commerce dan konvensional demi menciptakan kesetaraan pasar. Kendati demikian, belum ada kepastian kapan e-commerce akan dipajaki. Sebab, Pemerintah saat ini masih mengkaji dan merumuskan tata cara pengenaan pajak terhadap transaksi digital tersebut.
Terlebih, harus ada level kesetaraan (same level of playing field) antara konvensional dan digitalisasi. Sebab, digitalisasi ekonomi ini ada yang berbentuk fisik (tangible) dan ada yang tidak berbentuk fisik (intangible), seperti software.
Written by: Sebastian Atmodjo