JAKARTA, duniafintech.com – Pengunduran diri Rachmat Kaimuddin sebagai Direktur Utama PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) menuai kecaman dari pengamat ekonomi, pasalnya Rachmat mundur di tengah kinerja perseroan yang tak baik-baik amat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai, pengunduran diri Rachmat ini sebagai bentuk tak bertanggung jawab dan hanya ingin mengambil keuntungan sesaat dari proses penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO).
“Kalau mundur sekarang ada indikasi bahwa Rachmat Kaimuddin hanya ingin menjual saham Bukalapak-nya ketika IPO dengan harga tinggi. Selanjutnya masa bodo,” katanya kepada Duniafintech.com, Kamis (30/12).
Pasalnya, menurut Huda, pengunduran diri Rachmat tersebut menyisakan pekerjaan rumah yang masih menumpuk, misalnya terkait dengan persaingan dengan kompetitor yang dinilainya buruk.
Lalu, persoalan neraca keuangan yang masih minus. Kemudian, soal harga saham Bukalapak yang semakin merosot sejak dilakukannya penawaran saham perdana perusahaan ke publik atau initial public offering (IPO) pada Agustus lalu.
“Legacy yang ditinggalkan sangat buruk jika mundur sekarang. Lari dari tanggung jawab. Sekali lari, bawa uang hasil dari IPO,” ujarnya.
Adapun, Rachmat Kaimuddin tercatat masih memiliki 104.291.245 saham atau 104,29 juta saham yang terkunci (locked up) di Bukalapak. Jumlahnya setara dengan 0,10% dari total saham e-commerce tersebut yang sebesar 103,06 miliar.
Jika dihitung dengan harga saham saat IPO sebesar Rp850/saham maka nilai kepemilikan saham Rachmat sempat menyentuh angka Rp88,65 miliar. Namun, jika dihitung berdasarkan harga penutupan kemarin Rp452/saham, nilai kepemilikannya Rp47,13 miliar.
Saham BUKA Terus Ambles
Sementara itu, sejak IPO saham Bukalapak terus merosot hingga hari ini. Ditawarkan seharga Rp850/saham pada IPO, trennya sempat meningkat di level Rp1.110/saham, namun di hari-hari selanjutnya saham terus ambles.
Penurunan tersebut pun terjadi hingga di penutupan perdagangan Rabu (29/12), di mana saham perseroan berada di level Rp452/saham, atau mengalami koreksi sebesar 57,92% dalam enam bulan terakhir.
Selain itu, jika dilihat berdasarkan kinerja keuangannya, BUKA masih mengalami kerugian bersih dalam 9 bulan pertama tahun ini sebesar Rp1,12 triliun. Meskipun kerugian tersebut menyusut jika dibandingkan periode tahun lalu yang sebesar Rp1,39 triliun.
Namun jika dilihat laporan keuangannya, total processing value (TPV) atau total transaksi yang benar-benar terjadi pada kuartal III-2021 tumbuh 45%. Capaian ini tumbuh signifikan usai marketplace ini melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) beberapa waktu yang lalu.
Secara keseluruhan, dalam sembilan bulan kinerja perusahaan mengalami pertumbuhan sebesar 51% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Nilai yang didapatkan dari pertumbuhan transaksi di kuartal III yakni mencapai Rp31,2 triliun. Sedangkan dalam periode Januari hingga Septembern2021, tercatat nilai transaksinya sebesar Rp87,9 triliun.
Pertumbuhan TPV ini didukung oleh peningkatan jumlah transaksi sebesar 25% dan kenaikan sebesar 21% pada average transaction value (ATV) sepanjang sembilan bulan pertama di 2020 sampai dengan sembilan bulan pertama 2021.
Adapun, sebanyak 73% TPV Perseroan berasal dari luar daerah Tier 1 di Indonesia, yang mana penetrasi all-commerce dan tren digitalisasi warung serta toko ritel tradisional terus menunjukan pertumbuhan yang kuat.
Peningkatan transaksi ditopang oleh mitra Bukalapak yang merupakan mesin utama penggerak bisnis perseroan. TPV mitra pada kuartal III dan sembilan bulan pertama masing-masing bertambah 129% menjadi Rp 16 triliun dan 179% menjadi Rp 40 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy).
Kontribusi Mitra terhadap TPV Perseroan meningkat dari 33% pada kuartal III-2020 menjadi 51% pada kuartal III-2021.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra