JAKARTA, duniafintech.com – Pengusaha meminta pemerintah melakukan penundaan atas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 11% menyusul disetujuinya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ketua umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, dunia usaha mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan kebijakan penundaan kenaikan tersebut sehingga memiliki kepastian bagi pelaku usaha.
Karena UU HPP tersebut masa berlakunya sudah dekat yaitu pada 1 April 2022. Sedangkan, saat ini pengusaha sedang sibuk membuat kalkulasi perhitungan jika kenaikan PPN tersebut tetap diberlakukan.Â
“Kami butuh kepastian segera apakah melalui Peraturan Pemerintah atau sejenisnya sehingga dunia usaha dapat menyesuaikan sesuai kebijakan pemerintah,” katanya dalam keterangannya, Kamis (10/3).
Dia bilang, pengusaha berharap pemerintah dapat menunda pemberlakuan kenaikan PPN 11% di awal April 2022 dengan memperhatikan realitas kondisi ekonomi nasional dan global yang saat ini yang penuh ketidakpastian.Â
Menurutnya, kenaikan PPN ini momentumnya sangat tidak tetap dan kurang mendukung dari situasi dan kondisi ekonomi yang ada. Setidaknya ada 5 alasan penundaan kenaikan PPN ini.
Pertama, kondisi ekonomi nasional yang baru mulai bangkit dan belum stabil akibat pandemi. Pengusaha baru mulai bangkit, ekonomi masyarakat juga baru mulai tumbuh sehingga daya beli masyarakat masih fluktuatif dan belum stabil.
Kedua, kondisi ekonomi global karena dampak pandemi ditambah dampak perang Rusia-Ukraina yang memicu kenaikan harga minyak dunia yang saat sudah menyentuh US$130,50 per barel yang akan berdampak pada kenaikan berbagai komoditas dunia dan harga BBM dalam Negeri.Â
“Pokok pangan dengan bahan baku gandum juga berpotensi akan mengalami kenaikan karena terhentinya impor gandum dari Ukraina,” ucapnya.
Ketiga, saat ini kita dihadapkan dengan gejolak kenaikan harga pokok pangan yang dimulai dari minyak goreng, kedelai, daging dan tidak tertutup kemungkinan kenaikan harga pokok pangan lainnya akan naik jika demand dan supply tidak seimbang.Â
Keempat, dalam 20 hari ke depan kita akan memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kenaikan harga harga pokok pangan sesuatu yang tidak bisa hindari. Sejauh kenaikan tersebut masih dalam kewajaran tentu tidak akan mengganggu daya beli masyarakat yang masih belum stabil.Â
Artinya disini,tanpa kenaikan PPN pun harga pokok pangan dan lainnya akan naik, apalagi jika PPN naik lagi tentu akan memberatkan masyarakat.
Kelima, dalam UU No.7 tahun 2021 terbuka Pemerintah menunda kenaikan PPN tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%, artinya kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada.
“Pemerintah harus hati hati dan mempertimbangkan secara seksama dampak pemberlakuan kenaikan PPN ini. Jika dipaksakan akan semakin menekan laju daya beli masyarakat dan memicu inflasi dan akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi nasional,” tuturnya.
Jika daya beli masyarakat semakin menurun maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang ditargetkan dikisaran 5%-5,5% karena 60% pertumbuhan ekonomi nasional ditopang dari konsumsi rumah tangga.
Menurutnya, kenaikan tarif PPN tersebut akan dapat disesuaikan dengan waktu dan momentum yang tepat, saat ekonomi nasional dan global sudah membaik, daya beli masyarakat kita tumbuh positif dan Indonesia sudah terbebas dari Covid-19.
Penulis: Nanda Aria
Admin: Panji A Syuhada