JAKARTA, duniafintech.com – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M. Rachbini memperkirakan bahwa perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina akan membuat subsidi energi nasional membengkak.
Pasalnya, perang tersebut telah membuat harga minyak mentah dunia dan gas melambung tinggi. Bahkan pada 7 Maret 2022 harga minyak mentah telah mencapai $122 per barel dan gas Eropa acuan Belanda tercatat Euro 241,01/megawatt hour, naik 25,16% dari rata-rata 200/mwh.
Kenaikan harga komoditas energi dunia ini jelas meningkatkan harga produksi energi nasional. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor migas. Karena itu, untuk tetap dapat memberikan energi yang murah bagi masyarakat kelas bawah, subsidi energi harus diberikan pemerintah, namun dengan risiko pembengkakan anggaran subsidi.Â
“Peran pemerintah memberikan bantalan/safe guard untuk masyarakat yang memang perlu dibantu, ketika shock terjadi (kenaikan harga). Artinya, subsidi pemerintah akan bengkak,” katanya kepadanya wartawan, Selasa (8/3).
Dia menjelaskan, kenaikan harga minyak dunia dan komoditas mempengaruhi anggaran pemerintah. Asumsi dasar minyak mentah pada APBN 2022 adalah $63, sekarang sudah mencapai $122 per barel.Â
Dengan target defisit APBN 4.85%, alokasi anggaran untuk subsidi energi nasional sekitar Rp134,02 triliun, yang terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 Kg sebesar Rp77,54 triliun dan subsidi listrik Rp56,47 miliar lainnya.Â
Kenaikan harga minyak, akan berdampak pada pos anggaran negara, baik di sisi pendapatan dan pengeluaran. Dia menjelaskan Indonesia merupakan net importir minyak mentah.Â
Data SKK Migas, produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700.000 barel per hari (bph). Sementara, konsumsinya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Sehingga, defisit minyak 500.000 barel, mengandalkan impor.
Sementara itu, di sisi pengeluaran, hal ini akan memberikan tekanan pada APBN 2022. Kenaikan harga minyak mentah $1 per barel, menaikkan anggaran subsidi elpiji sekitar Rp1,47 trilliun, subsidi minyak tanah Rp49 miliar, beban kompensasi BBM kepada pertamina Rp2,65 triliun.
“Sedangkan, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp295 miliar,” ucapnya.
Meskipun, di sisi pendapatan negara, akan ada peningkatan pajak dan PNBP, sebesar Rp0,8 triliun dan Rp2,2 triliun untuk kenaikan $1 ICP, (ceteris paribus), pada penerimaan Pertamina, namun penerimaan beberapa BUMN lainnya akan menurun, yaitu PLN, KAI, Garuda Indonesia.
Nah, penurunan penerimaan BUMN lainnya ini juga akan akan menambah beban subsidi, yaitu dari kompensasi listrik untuk PLN dan bahan bakar untuk KAI dan Garuda Indonesia.
“Sehingga, APBN perlu dikelola dengan tepat dan efisien jika krisis energi berlanjut, dengan memprioritaskan pemulihan ekonomi, menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi terjaga,” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Admin: Panji A Syuhada