JAKARTA, duniafintech.com – Dalam proyeksi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan kredit dinilai bakal meningkat sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung. Akan tetapi, penyaluran kredit perbankan diprediksi bakal cenderung selektif memperhatikan prospek debitur.
“Juga tetap memperhatikan pengelolaan risiko kredit meskipun kebijakan relaksasi kredit restrukturisasi masih berlangsung sampai dengan Maret 2023. Antisipasi pemburukan kualitas kredit existing akan terus dilakukan dengan pembentukan pencadangan yang memadai,” kata LPS dalam Laporan Bulanan LPS, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (28/2/2022).
Menurut LPS, adanya permintaan kredit yang lebih besar potensial, menjadi tantangan baru yang dalam pengelolaan likuiditas dan strategi penghimpunan dana. Dalam waktu bersamaan, bank pun mesti bersiap dengan perubahan perilaku deposan dan kehadiran layanan digital yang potensial mempengaruhi peta persaingan antar-bank.
Meski begitu, LPS menyatakan bahwa kondisi likuiditas perbankan tetap longgar di tengah mulai membaiknya fungsi intermediasi sejalan pemulihan ekonomi di sisi konsumsi dan produksi. Sementara itu, suku bunga simpanan menurun dengan laju lebih lambat memasuki awal 2022.
Untuk diketahui, peningkatan pertumbuhan kredit terus melanjutkan tren positif hingga tumbuh ke level 5,24% year on year (yoy) pada Desember 2021 lalu. Adapun peningkatan angka pertumbuhan kredit itu sejalan dengan tren pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung.
Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) diketahui juga meningkat menjadi 12,21% yoy, sehingga LDR perbankan cenderung turun ke level 77,13%. Di sisi lain, likuiditas perbankan pun masih menunjukkan posisi longgar di level diindikasikan dari level rasio AL/NCD 157,94% dan AL/DPK 35,12% meningkat sekitar dari periode bulan sebelumnya.
Lebih jauh, pulihnya permintaan kredit, khususnya, ditopang oleh pemulihan kinerja sisi konsumsi dan produksi pasca penerapan PPKM leveling di berbagai daerah.
Permintaan pembiayaan korporasi masih tinggi
Sementara itu, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa permintaan pembiayaan korporasi terindikasi masih tinggi pada Januari 2022 lalu. Akan tetapi, BI memandang bahwa permintaan itu lebih rendah ketimbang Desember 2021.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi, Erwin Haryono, hal ini tampak dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan pembiayaan korporasi sebesar 13,1% pada Januari 2022. Untuk diketahui, capain itu lebih rendah ketimbang SBT Desember 2021 sebesar 17,4%.
“Perlambatan permintaan terutama untuk pembiayaan yang bersumber dari dana sendiri dan pembiayaan dari pinjaman atau kredit baru perbankan dalam negeri. Sementara itu, permintaan yang bersumber dari pinjaman atau utang dari perusahaan induk terindikasi meningkat,” katanya, mengutip laman resmi BI, Sabtu (26/2/2022) lalu.
Ia menerangkan, kebutuhan pembiayaan baru oleh rumah tangga juga terpantau masih terbatas pada Januari 2022. Adapun mayoritas rumah tangga memilih Bank Umum sebagai sumber utama penambahan pembiayaan, dengan jenis pembiayaan yang diajukan mayoritas berupa Kredit Multi Guna.
“Sementara itu, untuk keseluruhan periode triwulan I 2022, penyaluran kredit baru diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya,” sebutnya.
Sebagai informasi, SBT adalah jawaban responden dikalikan dengan bobot kreditnya (total 100%). Kemudian, dihitung selisih antara persentase responden yang memberikan jawaban meningkat dan menurun. Survei ini juga digelar oleh BI sebagai upaya mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat dampak pandemi Covid-19.
Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan pembiayaan (sisi permintaan) maupun penyalurannya (sisi penawaran).
“Survei dilakukan kepada korporasi dan rumah tangga dari sisi permintaan, dan perbankan dari sisi penawaran dengan cakupan nasional,” tuntasnya.
Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama
Editor: Anju Mahendra