JAKARTA – Penggunaan dana haji atau setoran yang diinvestasikan menuai kontroversi. Pasalnya, dana yang diniatkan oleh jamaah calon haji ternyata pemerintah untuk pembiayaan jamaah haji lain.
Mengamati fenomena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) langsung mengeluarkan fatwa.Fatwa itu sebagai bentuk respon keras atas kebijakan yang diambil pemangku kebijakan. Melalui fatwa VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 tentang Hukum Memanfaatkan Hasil Investasi Setoran Awal BIPIH Calon Jamaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji Jamaah Lain, MUI mnegeluarkan sejumlah fatwa.
Terbaru! Fatwa MUI Terkait Dana Haji Hasil Investasi, Ini Faktanya
Terbitnya fatwa itu diharapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Harapannya, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjadikan ini momentum mereformasi pengelolaan dana haji oleh pemerintahan. Berdasarkan fatwa yang dikeluarkan MUI, dana hasil investasi yang diperuntukkan untuk memberangkatkan jamaah haji lain, dinyatakan haram.
MUI menyebut, pemanfaatan dana disebut dianggap mengurangi hak calon jemaah. Fatwa haram itu dituangkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia. Berikut hasil fatwa MUI diantaranya menyatakan, hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah Haram.
MUI juga menyebut semua yang terlibat dalam investasi tersebut, termasuk pengelola dihukumi berdosa. Dasar hukumnya, bersandar pada Al Quran dalam Surah Al Baqarah ayat 188. Ditambah ayat 196 serta surah An Nisa ayat 58.
Kemudian ditambah surah Al Maidah ayat 1. Jika mengacu pada hadits nabi, tidak halal menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Kemudian, hadits perintah menunaikan amanah, hadits akad wakalah SAW, dan hadits tentang keutamaan bekerja sama antarsesama muslim.
Menurut MUI. investasi untuk membiayai jemaah lain berdampak pada hak calon jemaah lain. Kedepan, kedepan dalam jangka panjang dianggap akan menimbulkan masalah. Pengamat haji Ade Marfuddin mengaku menyetujui dan mengapresiasi langkah yang diambil MUI. “Saya sepakat,” paparnya menanggapi keluarnya Fatwa MUI itu.
Menurut dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah Bhakti Nugraha (STESBN) itu, dana haji merupakan hak mutlak penyetor dana. Karena adalah ibadah sekaligus rukun Islam yang kelima.
Karena itu, ia menilai segala hal terkait dengan haji, harus bersih dan tidak menyalahi aturan. “Khususnya pembiayaan jangan sampai ada unsur yang diragukan atau subhat,” katanya. Apalagi, sambungnya ada unsur zalim pada pengelolaan dana haji tersebut.
Ade menilai, tindakan mencampuradukkan dana haji dari seluruh jamaah haji dengan tujuan memberangkatkan jamaah lain itu tidak benar. Nilai investasi kata Ade, harus dibagi secara merata ke semua jamaah yang sudah mendaftar. “Apalagi semua jamaah sudah menyetorkan dana awal yang sama,” katanya.Â
Saat ini sambung Ade, dana awal untuk pendaftaran haji ditetapkan sebesar Rp 25 juta per orang. “Artinya, uang yang disetor jamaah itu jumlahnya sama. Uang setoran awal itu dikumpulkan kemudian dikelola dengan berbagai macam bentuk investasi,” jelasnya.
Untuk itu, Ade mengingatkan BPIH sebagai pengelola untuk melakukan reformasi. “Diantaranya harus memperhatikan nilai potongan biaya riil haji sesuai dengan tabungan jamaah,” jelasnya.
Jika mengamati durasi tunggu jamaah, maka semakin lama jamaah menunggu otomatis nilai tabungannya lebih besar. Ade juga memberikan pilihan lain terkait pengelolaan dana haji agar tetap sesuai ketentuan islam.
“Uang hasil investasi harus dikembalikan langsung kepada para jamaah. Sehingga, jamaah haji secara jelas dan benar membayar ongkos haji dari uang setoran awal plus dengan dana pelunasan,” paparnya.Â
Misalnya tambah Ade, biaya naik haji sebesar Rp 100 juta maka jamaah cukup melakukan pelunasan sisanya sebesar Rp 75 juta. “Hasil investasi dari setoran dana haji itu bisa digunakan,” katanya.