JAKARTA, 17 Oktober 2024 – Rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) tercatat berada di atas 10%. Memburuknya kualitas kredit turut jadi penyebab meningkatnya rasio kredit bermasalah tersebut.
Tak pelak, industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) turut jadi korban dari dampak kredit bermasalah itu.
Hal ini seiring dengan banyaknya BPR yang bangkrut pada tahun ini.
Tercatat, sepanjang tahun berjalan di 2024 ini terdapat 15 bank BPR yang bangkrut dan dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Terbaru ada PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nature Primadana Capital yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Dampak Berakhirnya Masa Relaksasi
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo), Tedy Alamysah menjelaskan, melonjaknya NPL BPR akibat dampak dari berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19.
“Walau demikian, kami berharap kondisi ini tidak berlangsung lama, karena kami melihat BPR-BPRS terus berupaya memperbaiki kinerjanya baik dari sisi kuantitas maupun dari kualitasnya. Dan di akhir tahun nanti kami harapkan tingkat rasio NPL dapat terjaga di dibawah 8%,” ujar Tedy.
Menurut Tedy, dalam upaya menjaga kualitas kredit, industri BPR berupaya meningkatkan penyaluran kredit secara sehat, tepat dan memenuhi kaidah prudential banking.
“Tetapi bagi BPR yang memiliki kualitas kredit yang cukup besar, upaya-upaya restrukturisasi akan menjadi pilihan yang paling bijak dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih,” katanya.
Tedy pun menjabarkan, tantangan yang sangat dirasakan industri BPR yaitu pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan kinerja BPR.
Oleh karena itu, pihaknya berharap stimulus pemulihan ekonomi yang selama ini telah di upayakan pemerintah, benar-benar memberikan dampak terhadap sektor ril ekonomi di Masyarakat.
Perlambatan Ekonomi Global
Direktur Utama BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha pun mengakui ketidakpastian ekonomi makro seperti perlambatan ekonomi global atau lokal dan kenaikan suku bunga berdampak pada daya beli masyarakat dan kemampuan mereka untuk membayar kembali pinjaman.
Ditambah lagi, dampak lanjutan dari pandemi COVID-19 disebut Nyoman masih mempengaruhi beberapa sektor ekonomi, terutama UMKM yang menjadi salah satu target pasar utama BPR. Pemulihan ekonomi yang lambat membuat sebagian debitur kesulitan dalam memenuhi kewajiban kreditnya.
Walau demikian, Nyoman menyebut kualitas kredit yang dimiliki BPR Hasa Mitra masih terjaga di level yang aman. Ia pun merinci, NPL bruto BPR Hasamitra pada posisi Desember 2023 ada di angka 2,44%. Angka tersebut tercatat mengalami penurunan jika melihat posisi Agustus 2024 yang ada di level 2,29%. Nyoman pun menargetkan NPL hingga akhir tahun dapat terjaga di level 1,5%.
LOAN Melonjak
Berdasarkan data OJK, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) BPR juga tercatat melonjak menjadi 11,39% per Juni 2024.
Padahal di periode yang sama tahun sebelumnya NPL BPR masih berada pada level 9,27%.
Menurut Kepala OJK Jabodebek dan Provinsi Banten Roberto Akyuwen mengatakan kondisi NPL yang mencapai dobel digit adalah karakteristik bawaan dari BPR.
Selain itu, pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor yang turut memberi tekanan pada BPR.
“Memang nature-nya begitu, secara empiric memang dari waktu ke waktu NPL BPR senantiasa di atas 10% rata-rata industri,” ujarnya.
Meskipun saat ini sejumlah BPR mencatat NPL hingga level dobel digit, Roberto optimis bahwa kebijakan konsolidasi yang diterapkan oleh OJK, bersama dengan perbaikan dari sisi operasional BPR saat ini, akan membawa perubahan positif.
Dirinya pun menyoroti BPR yang telah bertransformasi digital menunjukkan respons yang lebih baik dan cepat dalam menghadapi tekanan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.
“Ke depan, tidak banyak lagi banyak BPR yang NPL-nya itu dobel digit. Kita berharap bisa di bawah itu,” pungkasnya.
Rasio Kredit Bermasalah Membengkak
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, rasio kredit bermasalah BPR memang membengkak.
Jumlahnya meningkat menjadi 11,49% per Juli 2024 dengan nominal NPL Rp16,71 triliun.
Total kredit macetnya pun mencapai Rp11 triliun, naik 25,12% yoy.
Pada periode yang sama tahun sebelumnya atau Juli 2023, NPL BPR sendiri masih berada pada level 9,79% dengan nominal NPL Rp13,35 triliun.
Adapun, saat itu, total kredit macet sebesar Rp8,87 triliun. NPL BPR juga telah merangkak secara perlahan sejak awal tahun 2024, pada Januari 2024 di level 10,25%.
Kemudian Februari pada level 10,55% dilanjutkan pada Maret, April, Mei dan Juni 2024 yang masing-masing berada di level 10,7%; 11,2%; 11,37% dan 11,39%.
Meski di tengah NPL yang membengkak, berdasarkan data OJK per posisi Juli 2024 perkembangan kinerja industri BPR dan BPRS secara umum masih terjaga baik.
Tercatat, total aset yang tumbuh mecapai 6,12% menjadi senilai Rp221,13 triliun, pertumbuhan penyaluran kredit dan pembiayaan mencapai 7,07% yoy menjadi Rp163,33 triliun serta penghimpunan dana pihak ketiga tumbuh 6,52% yoy menjadi Rp155,93 triliun.