JAKARTA, duniafintech.com โ Hiruk-pikuk terjadi di pasar modal tanah air menyusul kebijakan BEI tutup kode broker pada saat transaksi saham berlangsung, beberapa waktu lalu. Namun, masih banyak pihak yang mempertanyakan, apa alasan sebenarnya BEI menutup kode broker ini.
Adapun kebijakan yang telah berjalan sejak 6 Desember lalu ini memang menjadi sorotan. Padahal, informasi kode broker sendiri masih dapat dilihat pada akhir perdagangan setiap harinya.
Diketahui, ada banyak dari pelaku pasar yang malah keberatan dengan kebijakan ini. Menanggapi hal itu, menurut Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono W. Widodo, pada dasarnya pihaknya hanya mengikuti apa yang telah diterapkan oleh pasar modal di seluruh dunia, yakni menutup informasi kode broker yang melakukan transaksi.
โKita sih berusaha untuk back to basic. Dalam hal ini, kami juga melihat kebijakan yang sudah dilakukan di beberapa bursa. Mungkin hampir semua bursa yang ada di dunia,โ katanya, seperti diberitakan Detikcom, Kamis (16/12).
BEI, imbuhnya, juga mempertimbangkan pola kebiasaan transaksi yang dilakukan para investor ritel belakangan ini, apalagi investor baru. Dalam pandangannya, mereka saat ini cenderung mengikuti broker-broker besar dalam mengambil keputusan untuk membeli atau menjual suatu saham.
Padahal, imbuhnya, keputusan yang baik dalam memilih saham di pasar modal adalah dengan mempertimbangkan faktor fundamentalnya, bukan malah ikut-ikutan.
โKami berpendapat bahwa sebaiknya kami juga menerapkan suatu metode di mana proses pengambilan keputusan berinvestasi itu didasarkan atas pengambilan keputusan yang lebih memiliki alasan yang baik, yang memiliki alasan fundamental, dibandingkan dengan hanya melihat apa yang dilakukan atau dibeli dan dijual beberapa broker-broker tentu,โ urainya.
Ikut-ikutan di saham, seberapa berbahaya?
Laksono menambahkan, salah satu alasan BEI menutup kode broker, yakni dalam rangka mencegah praktik herding behavior dan front running. Belakangan ini, memang marak terjadi praktik โikut-ikutanโ atau โcuri startโ yang dilakukan oleh investor ritel dalam mengambil keputusan bertransaksi saham.
Terkait seberapa parah dampak dari herding behavior ini apabila terus dibiarkan hingga akhirnya BEI mengambil keputusan menutup kode broker, Laksono mengungkapkan pandangannya.
โJadi, sebenarnya herding behavior itu bukan hal yang baru dan bukan hal yang yang unusual juga. Kalau kami lihat, waktu di awal-awal pandemi itu, sektor-sektor yang berhubungan dengan kesehatan, dengan farmasitikal, rumah sakit, itu mengalami peningkatan yang luar biasa. Ini kan juga sebenarnya herding behavior,โ ujarnya.
โKarena orang berpikir secara logika bahwa, โOh, kalau misalnya terjadi pandemi, tentunya banyak industri yang mengalami penurunan, tapi juga ada industri yang sangat tertolong karena memang itu hal-hal yang dibutuhkanโ,โ sebutnya.
Misalkan, kata dia lagi, sempat terjadi pula kenaikan harga dari saham-saham yang sifatnya internet of things dan berhubungan dengan e-commerce. Hal itu, dalam pandangannya, juga termasuk kategori herding behavior.
Akan tetapi, contoh-contoh itu, sambungnya, merupakan herding behavior yang didasari oleh aspek fundamental. Pasalnya, yang menjadi alasannya adalah lantaran kondisi pandemi Covid-19 dapat mendorong kinerja perusahaan tercatat di sektor-sektor tertentu.
Yang menjadi masalah, lanjutnya, yakni aksi ikut-ikutan investor ritel yang membeli atau menjual saham hanya berlandaskan data transaksi broker-broker tertentu. Para investor ini berharap dapat ikut mengambil keuntungan dengan percaya pada data broker tertentu. Hal itu tentunya menjadi sebuah keputusan investasi yang tidak berlandaskan fundamental.
โKalau herding behavior yang hanya melihat broker A atau B ini menjual atau membeli apa, saya rasa itu suatu herding behavior yang perlu diperbaiki ke depannya. Apakah ini menjadi suatu hal yang parah? Saya rasa nggak,โ jelasnya.
Namun, menurutnya, aksi ikut-ikutan yang tidak berlandaskan fundamental ini bukanlah sesuatu yang hal sangat buruk. Meski demikian, selaku penyelenggara pasar modal, BEI merasa perlu untuk memperbaikinya, utamanya untuk melindungi para investor ritel.
โKami lihat sendiri ya selama penerapan ini dilakukan pada minggu lalu, tidak ada penurunan, baik dari segi value transaction, frekuensi, maupun jumlah lot atau jumlah lembar saham yang ditransaksikan. Bahkan, ada kecenderungan sedikit naik malah dibandingkan dengan rata-rata yang sudah tercipta selama awal tahun sampai dengan awal Desember,โ ungkapnya.
โJadi, kalau ditanya, apakah ini suatu apa yang masalah yang berat, saya rasa nggak juga, karena investor kami pun, investor ritel pun, juga sebagian besar adalah investor yang rasional. Karena kami bisa lihat bahwa memang tidak terjadi penurunan yang signifikan, artinya memang ada pihak-pihak yang tidak setuju, tapi pihak yang memahami dan menyetujui hal ini juga cukup banyak.โ
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra