26.3 C
Jakarta
Senin, 23 Desember, 2024

Aspakrindo Nilai Aturan Pajak Kripto Belum Sepenuhnya Mengkaver Transaksi Aset Kripto

JAKARTA, duniafintech.com – Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) belum lama ini bertemu dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk membahas hal teknis terkait pemungutan pajak transaksi aset kripto.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan aturan pengenaan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 yang telah ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 30 Maret 2022 dan diundangan pada hari yang sama.

Dilansir dari Kontan, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan, tidak bisa menyebutkan usulan apa saja yang disampaikan dalam pertemuan DJP terebut.

Baca juga: Naik atau Turun, The Fed Bakal Picu ‘Gempa’ Harga Aset Kripto 

Namun, Teguh mengatakan, salah satu yang bisa disampaikan adalah saat ini PMK 68/2022 belum sepenuhnya mengkaver transaksi dalam aset kripto, sehingga butuh waktu untuk implementasi, dari sisi pengembangan API (Application Programming Interface) dan sosialisasi.

“Di sisi lain, untuk transaksi B2B, exchanger-to-exchanger masih belum ada aturannya karena saat ini exchanger tidak berdiri sendiri, karena saling membuka diri sehingga masing-masing exchanger yang saling bekerja sama punya posisi jual-beli kripto yang sama,” ujar Teguh dalam keterangan tertulis.

Dalam aturan PMK 68/2022 ini juga belum dijelaskan soal pemberian hadiah, seperti campaign rewards, air drops dan lainnya berupa aset kripto, apakah dilakukan pemungutan pajak atau tidak. Bila tetap dipungut dasarnya apa PPN atau PPh final. Begitu pula dengan pertukaran barang/jasa dengan aset kripto.

Baca juga: Sepuluh Tahun ke Depan, Satu Miliar Penduduk Bumi Diprediksi Bakal Gunakan Mata Uang Kripto

Teguh menyarankan pemerintah juga harus memperketat pengawasan agar para investor kripto dalam negeri tidak kabur bertransaksi di exchange luar negeri guna menghindari pajak.

Selain itu, kata Teguh, perbedaan transaksi di pasar saham dengan di pasar kripto, ada di lembaga perantara. Saat ini, industri kripto di Indonesia belum ada lembaga bursa kripto yang bisa menjadi lembaga perantara antar exchange.

Sehingga, jika ada bursa kripto, pemungutan pajak akan lebih mudah, karena semua transaksi akan terpusat.

Teguh mengatakan, saat ini bursa kripto belum ada sehingga transaksi jual beli aset kripto bisa dilakukan langsung antar exchange. Dengan adanya bursa kripto, bisa bertindak sebagai lembaga yang akan mencatatkan pembukuan PPN dan PPh dalam transaksi multi exchange.

“Sementara dari sisi teknik yang akan diterapkan DJP akan menyulitkan. Sebab, dalam transaksi multi exchange bisa terjadi pemungutan pajak ganda, sehingga bisa merugikan pelanggan maupun exchange nantinya,” ucap Teguh.

Baca juga: Hasil Survei, Ini Token Kripto yang Paling Banyak Dibeli Investor Indonesia

Perdagangan aset kripto mirip dengan karakter perdagangan foreign exchange atau forex. Transaksi aset kripto bisa berpindah antar aset serupa, serta multiexchange.

Teguh mengatakan, seturut dengan karakter transaksi tersebut, paling realistis pengenaan pajak transaksi aset kripto, khususnya PPN, berlaku sewaktu para pemain dan investor melakukan withdraw, bukan hampir seluruh proses transaksi.

Penulis: Kontributor/Panji A Syuhada

 

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU