25.1 C
Jakarta
Jumat, 20 Desember, 2024

Berita Fintech Indonesia: Milik Eks Bos ISAT, Startup Fintech Indonesia Ini akan Go Public di AS

JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait perusahaan fintech Indonesia yang akan go public di Amerika Serikat (AS).

Diketahui, startup itu ternyata milik mantan CEO Indosat, Alexander Rusli, yang bernama DigiAsia.

Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dinukil dari CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Aturan Modal Inti Baru Dipenuhi Separuh Fintech, Pengamat Bilang Begini

Berita Fintech Indonesia: Hasil Merger dengan StoneBridge

Adapun di bursa Nasdaq, DigiAsia akan diperdagangkan dengan simbol FAAS. Perusahaan ini adalah hasil merger antara DigiAsia Bios dengan StoneBridge yang merupakan SPAC (special purpose acquisition company).

Tujuan dari merger ini adalah dalam rangka memperkuat DigiAsia di wilayah Asia Tenggara. Diketahui, DigiAsia punya valuasi mencapai US$500 juta atau Rp 7,8 triliun, sebelum pendanaan tambahan (pre-money).

Di lain sisi, dalam perusahaan gabungan, seluruh pemegang saham setuju memasukkan seluruh ekuitas.

Dalam hal ini, Mastercard dan Reliance Capital Management menjadi beberapa perusahaan yang tercatat sebagai pemegang saham.

Usai merger, perusahaan dapat mengakses dana tunai StoneBridge senilai US$200 juta. Perusahaan ini pun sudah memperoleh pinjaman dari Yorkville Advisor Global LP senilai US$100 juta atau Rp 1,5 triliun.

Sebagai informasi, DigiAsia adalah perusahaan asal Indonesia yang didirikan pada 2017. Perusahaan ini bergerak di bidang penyedia solusi fintech dan perbankan tertanam. 

Menurut Alex, perusahaannya siap melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, termasuk Asia Tenggara.

Ia menerangkan, IPO yang dilakukan ini diharapkan dapat membuat perusahaannya menjadi pemimpin di industri dompet digital.

“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan berencana ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti Timur Tengah dan Afrika Utara,” ucapnya.

“Peningkatan modal lewat IPO dan eksekusi lanjutan akan menjadikan Dig sebagai pemimpin dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal banking-as-a-service di wilayah ini,” imbuhnya.

Beberapa perusahaan menjadi partner dari DigiAsia adalah WesternUnion, Bukalapak, Starbucks, Garuda Indonesia, Semen Indonesia, KaiPay, Fishery, dan Home Credit.

Berita Fintech Indonesia

Berita Fintech Indonesia: Aturan Modal Inti Baru Dipenuhi Separuh Fintech, Pengamat Bilang Begini

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: OJK Catat Tingkat Keberhasilan Bayar Fintech Lending Tumbuh, Segini Besarannya

Diberitakan sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, aturan modal yang mewajibkan setiap penyelenggara pinjol untuk memenuhi ekuitas Rp12,5 miliar bisa menyaring mana penyelenggara yang lebih siap menghadapi tantangan ke depan.

“Ya sebenarnya syarat modal minimum itu merupakan hal yang positif dan perlu dapat dukungan karena fintech ini sedang menghadapi tekanan dari lonjakan kredit macet dan juga masalah soal manajemen risiko,” katanya.

Di samping itu, ia pun menekankan bahwa dengan sedikitnya penyelenggara yang terdaftar akibat seleksi modal, hal itu justru mendatangkan banyak keuntungan, termasuk terbukanya opsi sesama fintech P2P lending melakukan merger atau akuisisi dalam rangka meningkatkan modal minimum.

Bahkan, imbuhnya, kemungkinan penyelenggara mendapatkan kucuran dana dari perbankan untuk peningkatan modal sekaligus mempermudahkan pengawasan.

“Kalau bisa 20 perusahaan fintech [yang tersisa] pengawasannya jadi lebih mudah. Biaya pengawasannya jadi lebih mudah. Kemudian juga dari sisi kualitas penyaluran pinjaman, sehingga penyaluran pinjaman ke sektor produktif, kemudian ke pelaku UKM [Usaha Kecil dan Menengah],” jelasnya.

Namun, di luar aturan modal itu, ia juga menyampaikan bahwa bertahannya fintech P2P lending kini pun telah masuk dalam “seleksi alam”.

Dalam pandangannya, fintech dengan manajemen risiko yang baik akan bertahan dan mendapatkan suntikan modal dari bank.

“Jadi, tidak ada masalah [soal aturan modal],” sebutnya.

Lebih jauh dikatakannya, fintech P2P lending yang belum memenuhi syarat aturan modal sebaiknya melakukan dua hal. Pertama, mereka harus berkolaborasi dengan sesama fintech atau dengan lembaga keuangan, misalnya dengan menjadi bagian dari anak usaha.

“Atau dia [fintech P2P lending] terpaksa harus melikuidasi dan itu dari dulu didorong ada konsolidasi fintech. Mungkin sekarang saat yang tepat. Jadi bukan menghambat sebenarnya karena kalau terlalu banyak perusahaan fintech juga jadi susah untuk masyarakat membedakan mana fintech legal dan fintech ilegal. Kalau jumlahnya sedikit kan jadi lebih gampang,” urainya.

Paling Sedikit Rp12,5 Miliar

Sebagai informasi, dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 (POJK 10/2022) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi pada ayat (2) huruf c menyebutkan penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang berlaku 3 tahun terhitung POJK ini diundangkan.

POJK 10/2022 ini diundangkan pada 4 Juli 2022. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat baru 58 penyelenggara financial technology peer-to-peer lending (fintech P2P lending yang telah memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp12,5 miliar.

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Fintech Milik “Bossman Mardigu” Disanksi OJK, Ada Apa?

Sekian ulasan tentang berita fintech Indonesia yang perlu diketahui. Semoga bermanfaat.

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU