JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terbaru akan mengulas profil fintech lending Investree yang dikabarkan gagal bayar.
Dalam hal ini, para badan hukum atau orang yang menyalurkan dana (lender) ke platform diketahui mengeluhkan telatnya pembayaran hasil investasi.
“Tolong OJK, CEO jadiin tersangka aja, biar selesai pendanaan, kasian masyarakat”, tulis akun @yudhawi294***** di Twitter pada Rabu (24/05/2023) lalu.
Menanggapi kabar yang berhembus di media sosial itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi pernyataan.
Akan tetapi, isu gagal bayar tersebut tidak dikomentari secara khusus.
“Kami dalam hal itu (dugaan gagal bayar), biasa memantaunya, dan terlihat hal-hal mengenai bagaimana untuk setiap PUJK (Pelaku Usaha Jasa Keuangan) melakukan kewajiban dan tugas sesuai pengaturan yang ada,” ucap Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar setelah rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta pada Kamis (25/05/2023) lalu.
Lantas, seperti apa profil Investree? Berikut ini ulasan selengkapnya dalam berita fintech Indonesia hari ini, seperti dilangsir dari Tempo.co, Senin (29/5/2023).
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Diterpa Isu Gagal Bayar, Ini Penjelasan CEO Investree
Berita Fintech Indonesia: Profil Investree
Perusahaan teknologi finansial atau fintech lending (fintech peer-to-peer lending) PT Investree Radhika Jaya diisukan mengalami kredit macet.
Mengutip investree.id, Investree adalah perusahaan teknologi finansial yang mengusung misi untuk mempertemukan orang berkebutuhan pendanaan (borrower) dengan pihak yang bersedia meminjamkan dana (lender).
Bukan hanya itu, lembaga keuangan itu juga menyediakan layanan imbal hasil dan pinjaman berbunga kompetitif.
Perusahaan yang bermarkas di Jalan Jenderal Sudirman Kav. 48A, Karet Semanggi, Jakarta Selatan ini menetapkan origination fee, yaitu biaya yang berasal dari perbedaan rendah antara jumlah harus dibayar borrower dan jumlah keuntungan lender.
Biaya tersebut sudah termasuk ke dalam tingkat bunga sehingga tidak ada pungutan tersembunyi.
Investree diklaim sebagai pionir dan inovator fintech lending marketplace pertama di Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan berbasis daring (online) dengan memanfaatkan teknologi. Teknologi yang dimaksud ialah aplikasi seluler untuk Android dan iOS.
Selain diawasi OJK, perusahaan pendanaan bersama (crowdfunding) tersebut terdaftar sebagai anggota Fintech Indonesia dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Mengacu pada studi kasus Investree 2020-2021, perusahaan fintech P2P lending tersebut mengaku mampu meningkatkan pendapatan 41 persen borrower segmen mikro dan mempertahankan pendapatan sebanyak 55 persen selama pandemi Covid-19 sehingga mendorong terciptanya 2.500 lapangan pekerjaan.
Produk Investree
Investree menawarkan tiga produk, yang meliputi:
- Platform yang menghubungkan pihak pemilik modal dengan peminjam.
- Produk pendanaan umum, yaitu Buyer Financing, Invoice Financing, Online Seller Financing, Working Capital Term Loan, Surat Berharga Nasional (SBN), dan Reksadana for Lender.
- Produk pendanaan syariah, antara lain Online Seller Financing Syariah dan pembiayaan usaha syariah.
Berdasarkan laporan hasil studi Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Investree menjangkau segmen demografi penduduk Indonesia, khususnya dari kalangan pemuda.
Sebanyak 60 persen borrower berusia di bawah 35 tahun dan 19 persen pelaku usaha adalah perempuan.
Investree membiayai 60 persen sektor perdagangan dan 40 persen sektor produktif lainnya, dengan rincian sebagai berikut:
- Pakaian dan kosmetik: 27,5%,
- Barang lainnya (untuk dijual): 14,5%.
- Barang elektronik: 13,3%.
- Jasa keuangan, real estat, dan jasa perusahaan: 11,4%.
- Manufaktur: 9,4%.
- Jasa-jasa: 9%.
- Penjualan otomotif: 5,1%.
- Konstruksi: 3,1%.
- Furniture: 3,1%.
- Transportasi dan informasi: 1,6%.
- Pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, listrik, air, gas, penyedia hotel, dan restoran: masing-masing 0,4%.
Sebagai pencetus industri fintech P2P lending di Indonesia, Investree mendukung perkembangan industri kreatif. Partisipasi sektor kreatif menyentuh angka 24 persen dari seluruh total kredit.
Industri yang menggerakkan lahirnya inovasi dan penemuan tersebut, antara lain, adalah aplikasi dan pengembangan permainan, fotografi, serta film, animasi, dan video.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Ini Kata Modalku Terkait Rencana OJK Cabut Moratorium Izin Fintech
Berita Fintech Indonesia: Aftech Dukung Kebijakan OJK
Sebelumnya diberitakan, Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) ikut buka suara mengenai rencana OJK atau Otoritas Jasa Keuangan yang ingin mencabut moratorium atau penghentian sementara pendaftaran izin layanan financial technology (fintech) peer to peer lending atau pinjaman onine (pinjol) pada tahun ini.
Dikutip dari Kompas.com, menurut Bendahara II Aftech, Chrisma Aryani Albandjar, pihaknya mendukung kebijakan pencabutan moratorium izin fintech lending dan menurut dia sah-sah saja jika OJK memang ingin mencabut kebijakan tersebut.
“Kalau soal moratorium pinjol, pertama Itu kan kebijakan regulator. Jadi kalau regulator mau mencabut yah silahkan. Bisa,” ujarnya.
Ia berpandangan, dalam pemberian izin ke pinjol, bukan hanya persoalan berapa jumlah pinjol yang legal.
Namun, kata dia lagi, jauh lebih penting jika pinjol tersebut bisa mengedukasi para penggunanya.
“Yang paling penting buat kami, mau dia 1 mau dia 1.000 usahanya (pinjol), ini kan namanya usaha yah seperti buka warung yah orang buka aja. Yang paling penting itu bukan soal berapa jumlahnya, tapi soal bagaimana kita melindungi pelanggan, bagaimana kita bisa melindungi dan mengedukasi pelanggan supaya pinjaman lebih produktif misalnya,” jelasnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan berencana mencabut moratorium izin fintech lending atau pinjaman onine (pinjol) pada tahun ini.
Pencabutan moratorium izin fintech lending ini paling cepat akan dilaksanakan pada kuartal ketiga tahun ini.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, dengan adanya penambahan perusahaan fintech berizin tentu akan meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
Hal tersebut bertujuan untuk membuat masyarakat dan UMKM lebih memiliki akses atas layanan keuangan.
Terutama, imbuhnya, untuk entitas yang selama ini belum terjangkau layanan keuangan konvensional seperti bank dan multifinance.
“Sebelum moratorium, ada puluhan fintech yang sedang berproses. Beberapa di antaranya masih komunikasi menanyakan kapan perizinan baru dibuka kembali,” tuturnya, baru-baru ini.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Terkait Peluang Bisnis Fintech P2P Lending, Begini Kata Bos OJK
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com