32.5 C
Jakarta
Jumat, 26 April, 2024

Berita Fintech Indonesia: Pajak Fintech Mencapai Rp107,25 M!

JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia kali ini akan membahas soal pajak pinjol dan kripto yang mencapai angka Rp234 miliar.

Sementara itu, pada periode Juni hingga Agustus 2022, pajak fintech P2P Lending sudah mencapai Rp107,25 miliar.

Berikut ini berita fintech terkini selengkapnya.

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Pentingnya Kolaborasi P2P-Asuransi

Berita Fintech Indonesia: Pajak Fintech dan Kripto Rp234 M

Mengutip laporan CNBC Indonesia pada Kamis (6/10/2022), disebutkan bahwa pemerintah sudah mengantongi pajak Rp107,25 miliar dari perusahaan fintech atau financial technology yang berbasis peer to peer (P2P) lending.

Menurut Dirjen Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo, perolehan ini dikumpulkan dari periode Juni hingga Agustus 2022. Sebagaimana diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.69/2022 terkait dengan bunga pinjaman layanan pembiayaan finansial (fintech lending) yang dikenakan potongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26.

Terkait besarannya, untuk PPh 23 sebesar 15% untuk wajib pajak dalam negeri (pemberi pinjaman) dan PPh 26 sebesar 20% untuk wajib pajak luar negeri.

“Kami PPh 23 Rp74,44 miliar, kemudian PPh 26 Rp32,81 miliar,” katanya dalam Media Briefing DJP 2022.

Ia pun menambahkan, pihaknya juga mengantongi pajak kripto senilai Rp126,75 miliar pada periode Juni hingga Agustus 2022. Adapun dari total pajak kripto itu, ia merinci bahwa sumbangan dari PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui PMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri mencapai Rp60,76 miliar dan PPN dalam negeri atas pemungutan oleh non-bendaharawan senilai Rp65,99 miliar.

Pemerintah Bebankan PPh-PPN Fintech — Berita Fintech Indonesia

Sebelumnya diberitakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyelenggaraan Teknologi Finansial (fintech).

Akan tetapi, kebijakan itu dianggap sangat memberatkan buat pengusaha dan nasabah dikarenakan akan pengenaan pajak terhadap penyelenggaraan fintech. Cakupan PPh dan PPN dimulai dari pinjaman online, uang elektronik, dompet elektronik, asuransi online sampai layanan berbasis blockchain seperti kripto.

Menyikapi hal tersebut, praktisi ekonomi digital, Wisnu Agung Prasetya, memandang bahwa kebijakan yang dikeluarkan inin akan menimbulkan eksploitasi konsumen karena pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut memanfaatkannya untuk menaikan target pajak.

Pemerintah, sambungnya, keliru sehingga mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak terhadap penyelenggara teknologi finansial. Pertama, dalam praktik fintech P2P Lending konsumen belum menikmati insentif dari cara produksi baru dari model bisnis melalui teknologi. Apalagi dalam pengajuan prosesnya terbilang cepat, mudah dan tanpa agunan. Sehingga membuat bunga yang dialami konsumen lebih besar dari perbankan.

“Kekeliruan kedua, penerapan pajak sebelum ekosistem bisnisnya jadi dan diyakini akan sustain. Ini salah satu yang akan dilihat investor, bisnis ini arahnya kemana. Semakin kuat pelembagaannya dan sustain atau ajimumpung. Sementara kelangsungan industrinya tidak dipikirin,” sebutnya kepada duniafintech.com di Jakarta, Rabu (27/7).

Seperti diketahui, mulai 1 Mei lalu, pinjaman online terkena pungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain pinjaman online, pungutan PPh dan PPN ini juga dikenakan pada jenis produk layanan jasa fintech lainnya.

Aturan pinjaman online terbaru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial

Dalam aturan itu, perusahaan dan layanan fintech akan terkena pajak penghasilan (PPh) dan atau pajak pertambahan nilai (PPN) dengan terbitnya PMK 69/PMK.03/2022 ini. Cakupan yang terkena PPh dan PPN fintech ini mulai dari pinjol, uang elektronik, dompet elektronik, asuransi online, sampai layanan berbasis blockchain alias kripto, dan kawan-kawan.

PMK menyebut, yang dimaksud pelaku dalam layanan pinjam meminjam ini meliputi pemberi pinjaman, penerima pinjaman, dan penyelenggara layanan pinjam-meminjam. Pajak penghasilan yang dikenakan kepada pemberi pinjaman dan atau penyelenggara pinjol adalah PPh 23 atau PPh 26. Yang dikenai PPh ini adalah penghasilan berupa bunga pinjaman yang didapat dari nasabahnya.

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Imbal Hasil Fintech Mulai Seret?

“Pemberi pinjaman menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman melalui penyelenggara layanan pinjaman meminjam,” demikian bunyi Pasal 2 ayat (1) PMK.

berita fintech indonesia

Diharapkan Ada Klasifikasi Tertentu

Melangsir Bisnis.com, sebelumnya, para pelaku industri teknologi finansial (tekfin) pendanaan bersama (P2P lending) alias pinjaman online (pinjol) mengharapkan ada klasifikasi tertentu dalam aturan perpajakan baru sehingga mereka tidak terkena kewajiban bayar.

Seperti diketahui, aturan perpajakan untuk industri pinjol baru berlaku per 1 Mei 2022, tepatnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Sementara itu, setoran pajak mulai dilaporkan dan dibayarkan per Juni 2022. 

Adapun beleid aturan pajak pinjol ini memuat mekanisme pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas imbal hasil atau bunga yang diterima para pemberi pinjaman (lender), dengan pemotongan yang dilakukan secara langsung oleh setiap platform P2P lending.

Di samping itu, juga ada pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk segala fee dan komisi atas jasa platform pinjol yang diakses para pengguna—dalam hal ini disebut sebagai peminjam dana (borrower).

Dikatakan CEO & Co-founder PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks), Benedicto Haryono, aturan perpajakan terbaru ini membawa dilema bagi platform. Pasalnya, pengenaan biaya yang lebih mahal itu terbukti menurunkan minat UMKM menjadi borrower P2P lending.

“Aturan perpajakan ini telah membawa cost of financing para UMKM menjadi 20—30% lebih mahal dari sebelumnya. Kami bisa saja bebankan semua ke mereka, tapi setiap platform tentu berupaya memberikan biaya layanan yang kompetitif buat pelanggan sehingga ada beberapa aspek yang kami korbankan,” katanya, Jumat (19/8/2022) lalu.

Ia menerangkan, pada akhirnya, kebijakan pajak itu berdampak terhadap para platform dari sisi kontraksi pendapatan. Adapun jalan menuju profitabilitas juga menjadi lebih lama, tidak terkecuali bagi KoinWorks.

Kata Ben lagi, penerapan aturan perpajakan bagi pinjol kontradiktif terhadap visi pemerintah sendiri, yang mengaku terus mendorong peningkatan inklusi keuangan bagi pelaku UMKM. Apalagi, platform pinjol seharusnya setara dengan jasa keuangan lain yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

Maka dari itu, jika aturan perpajakan untuk industri tekfin diputuskan tetap ada, ia pun secara umum mendukung adanya revisi aturan yang mengecualikan segmen pengguna UMKM dari pengenaan PPN.

“Mungkin kalau bisa ada klasifikasi berbeda berdasarkan customer based, itu ide yang bagus, karena memang pembiayaan modal kerja UMKM itu berbeda sekali dengan pembiayaan dana tunai buat individu,” tutupnya.

Sekian ulasan tentang berita fintech Indonesia terkini hari ini. Semoga bermanfaat.

Baca juga: Berita Fintech Hari ini: Fintech Rambah Dunia Fashion

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU

LANGUAGE