JAKARTA, 5 Desember 2024 – Indeks dolar Amerika Serikat (AS) atau DXY terus menunjukkan penguatan signifikan setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS, mengalahkan Kamala Harris dalam pemilu. Berdasarkan data Refinitiv, pada penutupan perdagangan kemarin, DXY tercatat di level 106,36, meningkat 2,84% sejak 5 November 2024. Sepanjang Desember hingga tanggal tersebut, indeks dolar telah naik sebesar 0,59%.
Alasan Penguatan Indeks dolar Amerika Serikat (DXY)
-
Dampak Kemenangan Trump
Terpilihnya Trump memicu kekhawatiran pasar terkait kebijakan proteksionisnya yang fokus pada kepentingan Amerika. Kebijakan ini termasuk potensi kenaikan tarif impor, khususnya dari China, yang dapat memicu kenaikan inflasi di AS.
Inflasi yang tinggi mempersulit Bank Sentral AS (The Fed) untuk menurunkan suku bunga. Menurut laporan Baystreet.ca, suku bunga tinggi menarik investor untuk membeli obligasi AS, memperkuat dolar. Jika The Fed tidak segera menurunkan suku bunga sesuai ekspektasi pasar, mata uang negara lain, termasuk rupiah, akan semakin tertekan.
-
Ancaman Trump terhadap BRICS
Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% terhadap negara-negara anggota BRICS yang sedang mempertimbangkan mata uang baru sebagai alternatif dolar. BRICS, yang melibatkan Rusia, China, India, Brasil, dan Afrika Selatan, kini menarik minat dari negara lain seperti Turki, Arab Saudi, dan Iran.
Trump menegaskan, “Kami menuntut komitmen untuk tidak menciptakan mata uang baru yang menggantikan dolar AS. Jika tidak, mereka akan menghadapi tarif besar,” tulisnya di media sosial, seperti dikutip AFP.
-
Ketegangan Geopolitik
Konflik Rusia-Ukraina yang memanas juga berkontribusi pada lonjakan permintaan dolar AS. Presiden Rusia Vladimir Putin mengancam akan melancarkan serangan ke Kyiv dengan rudal hipersonik baru setelah Ukraina menyerang wilayah Rusia menggunakan senjata Barat. Situasi ini mendorong investor mencari aset yang lebih aman seperti dolar AS.
Dampak Penguatan DXY terhadap Rupiah
Menguatnya indeks dolar membuat rupiah melemah. Pada 5 November 2024, rupiah berada di level Rp15.730 per dolar AS, namun turun menjadi Rp15.935 per dolar AS pada 3 Desember 2024, melemah 1,3% dalam sebulan.
Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Firman Mochtar, menjelaskan bahwa kebijakan pro-AS yang diusung Trump dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dari 3,2% menjadi 3,1%. Selain itu, kebutuhan pembiayaan pemerintah AS yang tinggi akan mendorong kenaikan yield obligasi, menarik modal keluar dari negara berkembang seperti Indonesia.
“Hal ini akan terus meningkatkan indeks dolar,” ungkap Firman.
Strategi BI Menjaga Stabilitas
Untuk meredam dampak pelemahan rupiah, BI mengadopsi berbagai langkah strategis, seperti:
- Menahan suku bunga acuan BI rate.
- Intervensi pasar valuta asing melalui transaksi spot, DNDF, dan Surat Berharga Negara (SBN).
- Memaksimalkan penggunaan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Koordinasi dengan Kementerian Keuangan dan perbankan juga diperkuat untuk menjaga likuiditas dan stabilitas nilai tukar.
“Kami menjaga volatilitas tetap terkendali agar tidak mengganggu pelaku usaha,” tegas Firman.
Penguatan indeks dolar akibat kemenangan Trump, ancaman terhadap BRICS, dan ketegangan geopolitik telah berdampak signifikan terhadap pasar global. Indonesia menghadapi tantangan besar dengan melemahnya rupiah, namun langkah strategis BI diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional.