JAKARTA, duniafintech.com – Fenomena crazy rich Indonesia yang sering pamer kekayaan di sosial media berujung buruk. Sejumlah nama kemudian tersandung kasus penipuan hingga tindak pidana pencucian uang.
Bahkan dua di antaranya, yaitu Indra Kenz dan Doni Salmanan telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, tampaknya kasus ini terus bergulir dan menyeret nama-nama crazy rich Indonesia lainnya sebagai orang yang patut dicurigai, seperti crazy rich asal Malang, Gilang Widya Pramana alias Juragan 99 dan istrinya Shandy Purnamasari.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa, hal ini bukti dari matinya meritokrasi di era digital.
Meritokrasi adalah sistem sosial di mana penghargaan, otoritas, kekuasaan, dan posisi sosial diberikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki prestasi atau kemampuan, bukan berdasarkan kekayaan dan kelas sosialnya.
Namun, belakang penghargaan ini diberikan kepada orang-orang yang melakukan flexing atau pamer kekayaan di sosial media, sehingga mereka pun sering disebut sebagai influencer. Padahal, tidak jelas dari mana hasil kekayaan tersebut didapatkan.
“Jadi di era media sosial ini meritokrasi ini bisa tertutup oleh pencitraan. Misalnya, jadi orang kaya instan dan ini memang menjadi parasit di masyarakat, karena belum tentu juga mobilnya mobil dia kan, bisa jadi Ferrari-nya sewaan,” katanya kepada Duniafintech.com, Senin (14/3).
Hal ini pun terbukti dari penetapan tersangka Indra Kenz dan Doni Salmanan, yang mana kekayaan yang dipamerkannya ternyata berada dari aktivitas sebagai afiliator untuk dua aplikasi trading ilegal binary options yang merugikan nasabahnya hingga ratusan miliar rupiah.ย
Oleh karena itu, menurut Bhima, belajar dari kasus ini masyarakat diimbau agar tidak mudah tergiur dengan berbagai pencitraan yang dilakukan oleh para influencer ini. Pasalnya, pencitraan yang dilakukan mereka menyesatkan.
“Sementara mereka yang memang ekspert di bidangnya kemudian juga merintis secara step by step itu enggak kelihatan karena ketutupan dengan pencitraan (influencer) yang sebenarnya menyesatkan,” ujarnya.
Dia pun mengajak masyarakat untuk lebih hati-hati lagi dalam berinvestasi dan terus meningkatkan literasi keuangannya. Sehingga dapat memilih mana lembaga investasi formal yang dapat dipercaya dan tidak terjerumus iming-iming influencer yang pamer kekayaan dengan instan.
Sebab, menurutnya, jika influencer tersebut memang merupakan investor yang teruji kemampuannya, maka yang harusnya dipamerkan bukanlah hasil kekayaannya tapi prosesnya.
“Jadi hasilnya yang dipamerkan, bukan prosesnya. Ini saya kira (yang disebut) matinya masyarakat meritokrasi memang di era sosial media,” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Admin: Panji A Syuhada