JAKARTA, duniafintech.com – Sebagai upaya “melawan” langkah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, beberapa waktu lalu, Grup Texmaco dan pemiliknya, Marimutu Sinivasan, mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Marimutu Sinivasan, gugatan ini dilakukan dengan tujuan agar ada besaran utang yang pantas dibayar kembali. Pasalnya, kata dia, berdasarkan data yang ada, nominal utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas Grup Texmaco berbeda-beda, setidaknya ada 4 versi.
Untuk diketahui, gugatan dari Texaco ini terdaftar dengan nomor perkara 820/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst dan mulai disidangkan pada 12 Januari 2022 mendatang.
“Karena ada beberapa versi mengenai besarnya nilai utang tersebut maka saya mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk mendapatkan kepastian yang sah secara hukum mengenai besarnya utang yang pantas saya bayar,” ucapnya, dilangsir dari Kompas.com, Senin (3/1).
Sinivasan menyatakan bahwa gugatan ini diajukan lantaran pengadilan yang berhak menentukan besarnya utang itu. Pasalnya, sejauh ini, ada sedikitnya 4 versi nilai utang Grup Texmaco.
“Jadi, kami tidak menggugat seluruh tindakan pengelolaan hak tagih Grup Texmaco,” sebutnya.
Di sisi lain, ia pun meminta keadilan dari pengadilan. Dikatakannya, perbedaan nominal utang grup Texmaco pun disebabkan oleh kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan untuk merespons krisis mata uang pada tahun 1997 dan 1998.
Kebijakan pemerintah yang mengikuti arahan IMF itu, sambungnya, membuat nilai rupiah melemah hingga Rp16.000 per dollar AS dan suku bunga pinjaman melonjak hingga di atas 80 persen.
“Kami tidak dalam posisi mempersalahkan IMF, melainkan sekadar meminta keadilan,” tuturnya.
4 versi nominal utang yang berbeda itu adalah sebagai berikut.
- Utang senilai Rp8 triliun
Pada versi pertama, Grup Texmaco disebutkan punya utang kepada negara sebesar Rp8,09 triliun atau tepatnya Rp8.095.492.760.391 (setara dengan 558.309.845,5 dollar AS, kurs Rp14.500).
Adapun utang komersial sebesar itu didasarkan pada Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Pada Kasus Grup Texmaco oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Pengawasan Khusus No: SR-02.00.01-276/D.VII.2/2000 tanggal 8 Mei 2000.
Hal ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepakatan antara PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengenai Penyelesaian Kredit Atas Nama Texmaco yang ditandatangani pada tanggal 25 Februari 2000 silam.
Diketahui, Nota Kesepakatan ini ditandatangani oleh Dirut PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Saifuddien Hasan; Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Cacuk Sudarijanto; dan diketahui oleh Menteri Keuangan Bambang Sudibyo.
- Utang versi Sri Mulyani Rp29 triliun
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, punya versi yang berbeda soal utang Grup Texmaco ini. Menurut Ani—sapaannya—, perseoran ini punya utang kepada negara sebesar Rp29 triliun ditambah tunggakan L/C sebesar 80,57 juta dollar AS.
Adapun angka utang sebesar itu didasarkan pada Akta Pernyataan dan Kesanggupan No. 51 pada tanggal 16 Juni 2005.
- Utang Rp38 triliun
Versi ketiga, utang Grup Texmaco kepada negara disebut-sebut sekitar Rp38 triliun. Utang komersial itu terdiri dari Rp790.557.000.000 tidak termasuk BIAD (berdasarkan surat Menkeu No. S-11/MK.6/2009 tanggal 12 Januari 2009).
Kemudian, Rp162.578.137.002,60 termasuk BIAD (berdasarkan penetapan jumlah piutang negara No. PJPN-22/PUPNC.10.02/2018 tanggal 12 Februari 2018).
Lalu, senilai Rp160.266.860.683,60 termasuk BIAD (berdasarkan jumlah piutang negara No. PJPN-24/PUPNC.10.02/2018 tanggal 12 Februari 2018) dan sebesar Rp14.343.028.015.183, 1.614.371.050 dollar AS, 3.045.772.989 Yen Jepang, dan FRF 151.585.
Utang itu diketahui berdasarkan Master Restructuring Agreement for Texmaco Group (MRA) No. 10 tanggal 23 Mei 2001.
Sebagai informasi, perhitungan utang ini berasal dari Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Stagas BLBI) dengan surat No. S-820/KSB/2021.
- Utang Rp93 triliun
Versi terakhir adalah Grup Texmaco disebut punya utang kepada negara sekitar Rp93 triliun, yang terdiri atas Rp31.722.860.855.522 dan 3.912.137.145 dollar AS.
Adapun utang komersial itu didasarkan pada Surat Paksa No. SP-998/PUPNC.10.00/2021 yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta III dan ditandangani oleh Des Arman pada tanggal 10 September 2021.
Sri Mulyani kesal
Sejauh ini, terdapat beberapa debitur alias obligor kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum melunasi kewajibannya ke negara. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.
Grup Texmaco milik konglomerat Marimutu Sinivasan menjadi salah satu obligor yang disinggung oleh perempuan yang akrab disapa Ani tersebut. Dalam hal ini, akhirnya pemerintah menyita 587 bidang tanah seluas 4.794.202 meter persegi milik Grup Texmaco.
Bidang tanah ini terletak di 5 daerah, yakni Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kota Pekalongan, Kota Batu, dan Kota Padang. Menurut Ani, Marimutu Sinivasan sempat menyatakan bahwa yang bersangkutan bakal melunasi utang BLBI lewat perusahaan yang dibentuknya.
Terkait hal itu, Marimutu setuju bahwa utang 23 usaha-usahanya yang terkait BLBI bakal dialihkan kepada dua perusahaan yang dibentuk, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Untuk membayar kewajibannya, Grup Texmaco juga setuju mengeluarkan exchangeable bonds (obligasi tukar) sebagai pengganti dari utang-utang. Adapun exchangeable bonds itu punya tenor 10 tahun dengan bunga 14 persen untuk rupiah dan 7 persen untuk mata uang global.
Namun, Grup Texmaco pun kembali gagal membayar kupon exchangeable bonds pada tahun 2004.
“Dengan demikian,pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi exchangeable bonds tersebut,” ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Belakangan, usai gagal bayar, imbuh Sri Mulyani, Marimutu Sinivasan tercatat berusaha menjual asetnya. Padahal, harta yang bersangkutan itu dapat dipakai untuk membayar utang BLBI.
“Menjual aset-aset yang dimiliki operating company itu yang tadi memiliki kewajiban untuk membayar Rp29 triliun. Harusnya membayar Rp 29 triliun, justru operating company-nya menjual aset-aset yang seharusnya dipakai untuk membayar utang,” tutur Sri.
Lantas, mengingat tidak adanya iktikad baik terkait hal ini, Sri Mulyani pun bergerak cepat dengan menyita aset Grup Texmaco yang masih tersisa. Diketahui, Texmaco punya beberapa pabrik tekstil, yang sebagian di antaranya dalam kondisi terbengkalai.
Sementara itu, tanah yang disita sebanyak 587 bidang tanah seluas 4.794.202 meter persegi, yang terletak di 5 daerah, yakni Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kota Pekalongan, Kota Batu, dan Kota Padang.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra