JAKARTA – Upaya untuk mengelola NIM Bi rate di level optimal terus dilakukan sejumlah bank di Indonesia.
Hal itu dilakukan menyusul tren suku bunga Bank Indonesia yang masih tinggi.
Pengelolaan tersebut dilakukan pasca penyusutan bunga bersih mengingat biaya dana mengalami kenaikan.
Dampak dari dana murah yang diperebutkan yang tidak diikuti peningkatan bunga kredit.
Alasan itulah membuat sejumlah bank melakukan upaya mengelola rasio agar terhindar dari pembengkakan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Berdasarkan data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan statistik Perbankan Indonesia tercatat NIM perbankan per Juni berada di level 4,57%.
Angka tersebut jika dibandingkan dengan capaian pada bulan Juni 2023 lalu lebih rendah yang berada di level 4,80%.
Sementara posisi Desember 2023 berada di level 4,81%.
Faktor yang Mempengaruhi NIM BI Rate
Menanggapi hal itu, Head of Research LPPI Trioksa Siahaan mengatakan, daya beli masyarakat menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi pemulihan NIM tersebut.
Selain itu, tingkat likuiditas bank hingga bunga bank yang terkendali juga turut menjadi faktor penyebabnya.
Melihat kondisi tersebut, Trioksa tak berani menjamin NIM akan membaik di masa mendatang, terutama pada kuartal IV/2024.
Ia tak menampik, sinyal The Fed yang akan memangkas suku bunga acuan bisa memberikan pengaruh yang signifikan pada NIM.
“Karena tensi geopolitik yang memanas,” paparnya.
Trioksa menilai, tensi geopolitik yang tengah memanas dapat menyebabkan adanya penundaan penurunan suku bunga.
NIM akan membaik kata Trioksa, saat kondisi likuiditas memadai.
“Sehingga biaya dana bisa ditekan,” katanya.
Bank-bank besar akan lebih baik dalam skenario jika bank tersebut telah memiliki funding franchise yang lebih baik.
Hal itu diungkapkan Analis Maybank Sekuritas Indonesia Jeffrosenberg Chenlim dan Faiq Asad.
Menurutnya, komposisi pendanaan berbiaya lebih rendah akan memiliki funding franchise tersendiri.
Hal ini kata Chenlim, akan menghasilkan margin yang lebih tangguh oleh bank-bank besar dibandingkan dengan bank-bank kecil.
Bank Kecil Kian Tertekan
Tanda-tanda bank kecil semakin tertekan dengan BI rate yang masih tinggi.
Hal itu diungkapkan Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah menyikapi kondisi yang tengah dialami sejumlah bank yang ada di Indonesia.
Tidak hanya bank kecil tapi bank besar juga tak luput dari persoalan ini.
Menurut Alamsyah, pihaknya telah menyiapkan sejumlah perencanaan dalam mengantisipasi NIM di level yang aman.
Targetnya kata Alamsyah, pada akhir tahun sudah mencapai di atas 5% akan tetapi dibawah 6%.
Alamasyah menuturkan, Bank Oke juga mengalami margin bunga bersih yang menyusut sejak Juni 2023 lalu.
Penyusutannya dari 5,74% menjadi 5,58% hingga per Juni 2024.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, bank Oke telah berupaya mengembangkan portofolio pinjaman yang beragam.
Tujuannya kata Alamsyah, untuk mengurangi risiko dan meningkatkan pendapatan bunga.
“Misalnya pinjaman konsumer hingga korporasi,” katanya mencontohkan.
BJB Turut Tertekan
Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) atau Bank BJB sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah atau Asbanda Yuddy Renaldi turut menanggapi persoalan tersebut.
Menurutnya, sudah saatnya perbankan menyesuaikan diri dengan kondisi pasar terkini.
Kondisi saat ini kata Yuddhy harus mampu mendorong margin bank agar bangkit.
“Perlu kita cermati dari kedua sisi,” paparnya.
Hal yang perlu diperhatikan sambung Yuddhy, sisi pendanaan lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga dibandingkan kredit karena perlu memperhatikan kemampuan bayar debitur.
“Untuk itu kami terus melakukan evaluasi,” pungkasnya.