Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama satu tahun. Perpanjangan relaksasi kredit dari 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023. Perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga berlaku bagi BPR dan BPRS.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan bahwa perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit itu diambil untuk terus menjaga momentum percepatan pemulihan ekonomi nasional. Ini juga untuk stabilitas perbankan serta kinerja debitur restrukturisasi Covid-19 yang sudah mulai mengalami perbaikan.
“Restrukturisasi kredit yang kami keluarkan sejak awal 2020 telah membantu perbankan dan para debitur termasuk pelaku UMKM,” kata Wimboh.
Hingga saat ini, perbankan terus melanjutkan kinerja membaik. Seperti pertumbuhan kredit yang positif mulai Juni dan angka Loan at Risk (LaR) yang menunjukkan tren menurun. Namun masih relatif tinggi. Sedangkan angka NPL sedikit mengalami peningkatan dari 3,06 persen (Desember 2020) menjadi 3,35 persen (Juli 2021).ย
Baca Juga : Sektor Jasa Keuangan Tumbuh Positif, Perbankan Kucurkan Kredit Rp1.439 T
Baca Juga : Kolaborasi OJK dan Kemenkominfo, Perkuat Digitalisasi Sektor Keuangan
Sementara itu Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana mengatakan, perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical. Itu juga menjadi salah satu faktor pendorong yang diperlukan untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum.
“Perpanjangan restrukturisasi hingga 2023 diperlukan dengan tetap menerapkan manajemen risiko, mengingat adanya perkembangan varian delta dan pembatasan mobilitas. Sehingga butuh waktu yang lebih bagi perbankan untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Bagi debitur untuk menata usahanya agar dapat menghindari gejolak ketika stimulus berakhir,” kata Heru.
Penerapan Risiko Manajemen dalam Relaksasi Restrukturisasi
Penerapan manajemen risiko dalam relaksasi restrukturisasi tetap menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini yang terdiri dari:
- Kriteria debitur restrukturisasi yang layak mendapatkan perpanjangan. Penerapan self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan. Masih memiliki prospek usaha, dan oleh karena itu layak mendapatkan perpanjangan.
- Kecukupan pembentukan CKPN. Terhadap debitur-debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah diberikan restrukturisasi pada tahap pertama. Bank diminta mulai membentuk CKPN.
- Prasyarat Pembagian Dividen. Dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen. INI agar mempertimbangkan ketahanan modal atas tambahan CKPN yang harus dibentuk untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
- Stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas Bank.
Ketentuan lengkap mengenai kebijakan perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini akan dimuat dalam POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Stimulus Covid-19. Aturan ini akan segera diterbitkan. Rapat Dewan Komisioner OJK juga memutuskan untuk mengeluarkan POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Kebijakan Stimulus BPR/BPRS.
POJK perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit akan mengatur penetapan kualitas aset dan restrukturisasi kredit. Ini juga sama dengan pembiayaan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi terhadap Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), atau Unit Usaha Syariah (UUS). inI JUGA serta debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19 termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah berlaku sampai dengan 31 Maret 2023.
Sementara mengenai ketentuan dana pendidikan perbankan, kualitas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) serta Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) serta Capital Conservation Buffer (CCB) tetap hanya akan berlaku sampai 31 Maret 2022.